Jumat, 26 November 2010

"Psikologi Kelompok"

Penanganan dan Relokasi Bencana

(Peran Psikologi Kelompok dalam Bencana)


Sungguh nyata jika manusia berencana, Tuhan juga yang menentukan. Kita hanya bisa merendahkan hati dan berusaha keras untuk saling berempati.



1. Awal Mula Bencana

Letusan eksplosif Gunung Merapi memeras air mata penduduk DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Peristiwa itu sangat mencekam, mengacaukan dan membawa korban tewas, puluhan sapi mati serta belasan rumah terbakar akibat awan panas atau runtuh akibat banjir lumpur.

Sejak letusan pertama 26 Oktober 2010, Merapi telah menyemburkan material vulkanik sekitar 100 juta meter kubik (m3). Sekitar 100 juta m3 material vulkanik itu menyebar ke sector selatan, barat daya, tenggara, barat dan utara yang diantaranya meliputi kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, serta Kabupaten Klaten, Boyolali dan Magelang di Jawa Tengah.

Berdasarkan observasi lapangan sementara petugas Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknolohi Kegunungapian (BPPTK), jarak luncur awan panas terjauh akibat letusan Merapi sepanjang 4/11-5/11 tercatat sejauh 14 kilometer di Dusun Bronggang, Cangkringan, Sleman, DIY. Akibat letusan itu tiga alat pencatat gempa BPPTK di stasiun Klatakan, Pusonglondon, dan Deles, rusak terkena awan panas.

Gelombang awan panas tak putus-putusnya keluar dari puncak beserta material letusan lava dan abu yang diiringi gemuruh. Puncaknya terjadi pada Jumat pukul 00.30. suara gelegar besar terdengar hingga radius 30 km dan hujan pasir hingga radius 15 km. hujan abu vulkanik juga terjadi hingga kota Yogyakarta yang berjarak lebih dari 30 km di selatan Merapi. Bahkan hingga kabupaten Tegal dan Brebes, Jawa Tengah.

2. Penanganan bencana


Pasca bencana yang terjadi dapat membuat sebagian masyarakat mengalami stres, karena besarnya masalah gangguan jiwa dampak dari bencana yang mereka rasakan serta terlalu lama berada di daerah pengungsian dan yang ditakutkan mereka akan mengalami depresi berat, psikosis, atau bahkan kecemasan yang membuat para korban bencana tidak berdaya dalam menjalani hidup kembali seperti sebelumnya. “Terapi kelompok merupakan faktor atau aspek yang berpengaruh dan berperan terhadap proses perubahan yang dialami individu (Yalom, 1975)”. Terapi kelompok diharapkan dapat sedikit membantu seseorang yang mengikuti terapi, karena bertujuan untuk :
  • Membangkitkan dan mendorong seseorang untuk tetap mau berusaha dan mampu bertahan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
  • Memberikan sebuah informasi bahwa bukan hanya dia saja yang mengalami masalah tetapi semua yang ada dalam 1 kawasan bencana mengalami permasalahan yang sama dalam arti mereka tidak sendiri.
  • Satu sama lain belajar memberikan informasi tentang permasalahnya.
  • Adanya proses saling menerima, membantu, memberi dukungan, meyakinkan, memberi saran, sharing tentang masalah yang sama untuk memberikan umpan balik hal tersebut sangat membantu karena setiap orang sebenarnya butuh untuk merasa dibutuhkan.
Dengan dilakukannya terapi kelompok diharapkan dapat memulihkan kondisi kejiwaan para korban bencana.

Dampak yang paling memprihatinkan juga terjadi pada tunas generasi bangsa atau anak-anak yang mengalami bencana, “Semua anak-anak berhak atas lingkungan yang dapat mengembangkan potensi-potensi mereka sampai ketingkat yang terbaik dan membuat mereka menjadi orang-orang yang bahagia. Disamping kasih sayang, anak-anak membutuhkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan, bakat, dan kepribadian masing-masing. Oleh sebab itu harus diusahakan lingkungan memberikan berbagai kemungkinan yang tidak dapat atau tidak diberikan oleh orang tua (Scarr, 1996)”, tetapi bagaimana dengan anak-anak yang lingkungannya terkena bencana, mereka pasti mengalami trauma yang sangat mendalam dan diharapkan para relawan dapat menghibur anak-anak dengan mengajak mereka belajar sambil bermain, bercanda, dan tertawa bersama sekedar melihat mereka tersenyum melupakan permasalahan yang mereka rasakan agar dapat berkembang sebagai anak-anak yang bahagia serta dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya di masa mendatang.

Kerentanan terbesar terhadap trauma justru disandang oleh anak-anak dan remaja (Stortelder & Ploegmakers-Burg, 2010). Orang-orang dewasa bisa juga terkena dampak tapi pada umumnya anak-anak dan remaja dapat terkena dampak yang lebih buruk.

Otak dan jiwa anak-anak dalam lima tahun pertama kehidupan mereka sangat rentan untuk mengalami perubahan positif maupun negatif. Perubahan itu berulang ketika anak memasuki usia 12 tahun. Trauma yang tidak ditindaklanjuti dengan terapi yang sungguh-sungguh dapat mengakibatkan psikopatologi (kondisi otak dan jiwa bermasalah yang menyatakan dirinya dalam berbagai gangguan pikiran, gangguan perasaan dan gangguan perilaku personal maupun sosial).

Traumatik paling mendalam yang dialami oleh anak-anak dan remaja dalam bencana adalah kehilangan pengasuh utama (ibu, ayah, bibi, paman, guru dan orang-orang dekat lainnya). Melalui hubungan-hubungan yang bersifat empatetik dan penyubstitusian yang diresapi pengertian, penerimaan hangat dan kejujuran serta ditandai teladan-teladan yang baik, otak jiwa anak dan remaja bertumbuh kembang sehat meniti suatu perjalanan perubahan dahsyat baik pada struktur otak maupun pada fungsi-fungsi kejiwaan dan sosial.

Peristiwa trauma lain yang juga sangat mendasar adalah kehilangan rumah, kampung halaman, keluarga dan sekolah adalah tempat hidup utama bagi anak-anak dan remaja. Ditempat hidup itu mereka meniti perkembangan neuropsikososial menuju perwujudan kemampuan-kemampuan untuk hidup sehat dan baik secara biopsikososial. Ketika bencana menghilangkan rumah, kampong halaman, keluarga dan sekolah dari kehidupan mereka, mereka pun kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan neuropsikososial yang sehat dan baik.

Kehilangan-kehilangan itu sekarang harus dipulihkan seoptimal mungkin. Simpati diwujud nyatakan sebagai program-program dan aksi-aksi nyata menghadirkan pengganti dari fungsi pengasuh utama yang hilang, juga rumah, kampung halaman, keluarga dan sekolah yang hilang dari anak-anak dan remaja dalam bencana.

3. Relokasi Bencana

“Para korban diharapkan dapat membentuk suatu kumpulan dan bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan (Deutsch, 1959; mills, 1967)” yaitu membangun daerahnya kembali disebut kelompok-relation, kelompok yang memiliki identitas kelompok yang kuat atau keluarga besar serta memiliki kekompakan kelompok yang tinggi (kelompok sangat terpadu/kohesif). Oleh sebab itu harus ada yang menjadi “panutan atau pemimpin agar dapat mengarahkan atau mempengaruhi sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama (Hemphill & Coons, 1957:7)”.

Istilah relokasi tak muncul semena-mena setelah adanya bencana. Relokasi telah lahir sebagai wacana publik, setidaknya dikalangan media. Pemerintah yang dijadikan sebagai pemimpin diharapkan dapat memberi kejelasan yang pasti dalam membantu para korban bencana dan pemerintah juga berlaku sebagai pihak yang memfasilitasi program relokasi kolektif ini. Relokasi merupakan salah satu alternatif untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tanahnya musnah terkena bencana, baik sebagian maupun seluruhnya, untuk menata kembali dan melanjutkan kehidupannya di tempat yang baru dan berada pada zona aman bencana.

Hak masyarakat kelompok yang harus dipenuhi atau dipertimbangkan pemerintah yang akan di relokasi adalah, pembangunan hunian sementara (huntara) pada keamanan relokasi dengan melihat titik-titik di daerah garis merah atau yang berada di radius 10-20 kilometer dari sumber bencana dengan pertimbangan bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan, status hak atas tanah terhadap tanah dan bangunan yang telah diserah terimakan kepada masyarakat, diberikan kepastian dan perlindungan hukum berupa hak milik. Kelengkapan fisik lokasi pemukiman kembali, letak dekat dengan daerah aliran sungai, ketersediaan air bersih, akses jalan, pemanfaatan, dan kondisi lahan untuk memajukan perekonomian.

Relokasi yang relative diterima biasanya didukung tiga kondisi :
  • Pertama. Pengetahuan umum yang menyatakan bahwa daerah yang tertimpa bencana alam itu tidak bisa dijadikan permukiman lagi.
  • Kedua. Jaminan kepastian hak milik tanah
  • Ketiga. Jaminan mata pencaharian yang sepadan dengan mata pencaharian di daerah asal.
Diharapkan apapun upaya yang dilakukan pemerintah serta peran kelompok dapat membantu dan mendukungan terhadap pemulihan tingkat kehidupan masyarakat kembali normal serta mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana di kemudian hari dengan menjaga lingkungan.



kelompok "psikologi kelompok"
1. Alzena Amanta
2. Nikmah Khumairoh
3. Nurul Lailani
4. Putri Asih
5. Ratih Nurwahyuningtyas

Sabtu, 30 Oktober 2010

Tugas Psikologi Kelompok

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh ibu Inge Andriani dalam penyelesaian tugas softskiil “Psikologi Kelompok”.

Terimakasih untuk teman-teman terutama kelompok yang beranggotakan “Alzena Amanta, Nikmah Khumairoh, Nurul lailani, Putri Asih, dan juga Ratih nurwahyuningtyas” sudah meluangkan waktu untuk memberikan kelancaran dalam bentuk kerjasama walau banyak kendala yang dihadapi, maka akhirnya tugas ini dapat terselesaikan dan mudah-mudahan mendapatkan hasil yang memuaskan. Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah dari Allah SWT.

Akhir kata kami mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penyusunan tugas ini. Semoga penulisan ini dapat memberikan manfaat untuk para pembaca. Amin


Bekasi, Oktober 2010


LATAR BELAKANG

Kelompok adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh anggota masyarakat. Kelompok juga dapat mempengaruhi perilaku para anggotanya.

Menurut Johnson (Sarwono, 2005) kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to faceinteraction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mancapai tujuan bersama.

Bebearapa ahli psikologi sosial seperti Durkheim dan Warriner berpandangan bahwa kelompok merupakan sesuatu yang riil yang dapat diperlakukan sebagai objek di dalam lingkungan kita (dalam Sarwono, 2005).

Bergabung dengan sebuah kelompok merupakan sesuatu yang murni dari diri sendiri atau juga secara kebetulan. Misalnya, seseorang terlahir dalam keluarga tertentu. Namun, ada juga yang merupakan sebuah pilihan. Dua faktor utama yang tampaknya mengarahkan pilihan tersebut adalah kedekatan dan kesamaan.

1. Kedekatan

Pengaruh tingkat kedekatan, atau kedekatan geografis, terhadap keterlibatan seseorang dalam sebuah kelompok tidak bisa diukur. Kita membentuk kelompok bermain dengan orang-orang di sekitar kita. Kita bergabung dengan kelompok kegiatan sosial lokal. Kelompok tersusun atas individu-individu yang saling berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis antara dua orang, semakin mungkin mereka saling melihat, berbicara, dan bersosialisasi. Singkatnya, kedekatan fisik meningkatkan peluang interaksi dan bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan terbentuknya kelompok sosial. Jadi, kedekatan menumbuhkan interaksi, yang memainkan peranan penting terhadap terbentuknya kelompok pertemanan.

2. Kesamaan

Pembentukan kelompok sosial tidak hanya tergantung pada kedekatan fisik, tetapi juga kesamaan di antara anggota-anggotanya. Sudah menjadi kebiasaan, orang leih suka berhubungan dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan minat, kepercayaan, nilai, usia, tingkat intelejensi, atau karakter-karakter personal lain. Kesamaan juga merupakan faktor utama dalam memilih calon pasangan untuk membentuk kelompok sosial yang disebut keluarga.


DATA JURNAL

1. JURNAL KOHESIFITAS SUPORTER TIM SEPAK BOLA PERSIJA

a. Sejarah Pembentukan Kelompok

Persija singkatan dari Persatuan Sepak Bola Jakarta adalah sebuah klub sepak bola Indonesia yang berbasis di Jakarta dan memiliki julukan Macan Kemayoran. Persija saat ini bermain di Divisi Utama Liga Indonesia.

Persija didirikan pada tahun 1928, dengan cikal bakal bernama Voetbalbond Indonesish Jakarta (VIJ). VIJ merupakan salah satu klub yang ikut mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan keikutsertaan wakil VIJ, Mr.Soekardi dalam pembentukan PSSI di Societeit Hadiprojo Yogyakarta, Sabtu 19 April 1930 (Wikipedia,2007).

The Jakmania adalah kelompok suporter pendukung tim sepak bola Persija yang terbentuk karena suatu alasan, yaitu samasama mendukung tim sepak bola Persija dan berupaya untuk mengorganisir para supporter Persija. The Jakmania berdiri sejak Liga Indonesia IV, tepatnya 19 Desember 1997. Pada awalnya The Jakmania hanya terdiri dari 100 orang, dengan pengurus sebanyak 40 orang. Ketika dibentuk, dipilihlah figur yang dikenal di mata masyarakat. Gugun Gondrong merupakan sosok yang paling dikenal saat itu dan memimpin The Jakmania pada periode 1999-2000. Seiring dengan berjalannya waktu masa kepemimpinan Gugun Gondrong digantikan oleh Fery Indrasjarief yang memimpinselama 3 periode. Pada masa kepemimpinan Fery, The Jakmania berhasil mendapatkan anggota sebanyak 30.000 dari 50 Koordinator Wilayah (Wikipedia, 2007).

Kelompok yang ada dalam The Jakmania

· Jak On Air yaitu kelompok yang bekerja sama dengan Radio Utan Kayu yang setiap seminggu sekali mendatangkan pemain pemain Persija,

· Jak Angel yaitu kelompok perempuan yang mendukung tim Persija,

· Jak Online yaitu kelompok yang mempunyai kegiatan untuk memberikan fasilitas informasi tentang Persija melalui jalur internet,

· Jak Scooter yaitu kelompok pengguna kendaraan vespa yang mendukung Persija, dan

· Jak Adventure adalah kelompok suporter yang mendukung persija saat bertanding di kandang lawan (Wikipedia, 2007).

· Kelompok-kelompok kecil ini memiliki aktifitas seperti berangkat bersamasama dari suatu tempat menuju stadion tempat lokasi pertandingan Persija dan pulang bersama-sama menuju tempat asal.

· Kelompok The Jak Kukusan merupakan salah satu kelompok kecil yang tidak tercatat berdasarkan pembagian kelompok diatas.


b. Prestasi Persija

Klub Sepak Bola Persija memiliki stadion yang terletak di Lebak Bulus, Jakarta, yang memiliki kapasitas berjumlah 30.000 penonton. Klub ini mendapatkan mendapatkan perhatian yang besar dari Gubernur Jakarta waktu itu ,Sutiyoso yang merupakan Pembina Persija. Keberadaan Persija dalam kancah Liga Indonesia memiliki banyak prestasi, di antaranya:

a) 1931 Juara – VIJ Jakarta ( nama awal Persija)

b) 1933 Juara – VIJ Jakarta

c) 1934 Juara – VIJ Jakarta

d) 1938 Juara – VIJ Jakarta

e) 1964 Juara – Persija Jakarta

f) 1974 Juara – Persija Jakarta

g) 1975 Persija Jakarta dan PSMS Medan (juara bersama)

h) 1977 Juara – Persija Jakarta

i) 1979 Juara – Persija Jakarta

j) 1990 Divisi Utama Peringkat 10

k) 1995 Peringkat 12 Wilayah Barat

l) 1995 Peringkat 13 Wilayah Barat

m) 1996 Peringkat 10 Wilayah Barat

n) 1998 4 Besar Liga Indonesia

o) 1999 4 Besar Liga Indonesia

p) 2001 Juara Liga Bank Mandiri

q) 2002 8 Besar Liga Bank Mandiri

r) 2003 Peringkat 7 Liga Bank Mandiria

s) 2004 Peringkat 3 Liga Bank Mandiri

t) 2005 Runner-Up Liga Indonesia

u) 2005 Runner-Up Copa Indonesia

v) 2006 Liga Indonesia 8 Besar

w) 2006 Copa Indonesia Juara

c. Konflik kelompok

· Agresivitas sebagai reaksi terhadap gangguan dari luar.

· Evaluasi yang berlebihan tentang keunggulan atau ketidakmampuan seeorang dibandingkan anggota kelompok lainnya.

· Persepsi tentang kesamaan antar pribadi dalam hal sikap, perilaku, dan kepribadian.

· Konformitas pada standar kelompok yang bersangkutan dengan sikap dan penampilan


2. JURNAL UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI MAHASISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN MATA KULIAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN MELALUI METODE PEER TEACHING DAN BRAINSTORMING

a. Sejarah Kelompok

Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman sebagai salah satu unsur atau elemen Sistem Pendidikan Nasional, tidak terlepas dari berbagai permasalahan selama proses pembelajaran. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah tingginya rasio antara dosen dan mahasiswa yaitu 1 : 80. Artinya, kelas yang terbentuk adalah kelas besar yang menyebabkan suasana kelas tidak kondusif. Salah satu mata kuliah yang diajarkan di Jurusan Sosiologi adalah Sosiologi Pendidikan. Mata kuliah ini termasuk dalam kelompok Mata Kuliah Wajib yang diberikan di semester IV dengan bobot 2 SKS. Mata kuliah Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pengertian dasar kepada mahasiswa mengenai cara berpikir secara teoritis dan teknis untuk melihat hubungan antarmanusia dalam proses pendidikan.


b. Konflik yang dihadapi


Permasalahan mendasar yang dihadapi Peneliti sebagai tim teaching Sosiologi Pendidikan adalah masih kurangnya partisipasi mahasiswa selama kuliah berlangsung. Meskipun tim teaching sudah menggunakan metode diskusi kelompok dan diskusi kelas, namun tingkat partisipasi mahasiswa dalam kuliah masih rendah. Kekurangaktifan mahasiswa tersebut, bisa disebabkan oleh banyak faktor. Faktor–faktor tersebut di antaranya adalah mahasiswa kurang memahami materi yang disampaikan dosen, adanya perasaan takut dalam diri mahasiswa (karena kurang terbiasa) serta adanya perasaan takut salah yang kemudian mengakibatkan mahasiswa menjadi minder atau trauma jika ia menjawab pertanyaan pada saat diskusi.

Atas dasar itulah, salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini adalah dengan mengintensifkan kegiatan diskusi kelompok mahasiswa baik di luar (diskusi secara mandiri) maupun pada saat kuliah berlangsung. Langkah ini ditempuh untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam proses pembelajaran Sosiologi Pendidikan. Langkah ini juga ditempuh untuk meningkatkan interaksi antara dosen-mahasiswa dan interaksi antarmahasiswa. Metode diskusi yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi mahasiswa di kelas, ternyata belum dapat terwujud dalam proses pembelajaran Sosiologi Pendidikan di Jurusan Sosiologi. Kendala yang dihadapi tim teaching selama proses diskusi tersebut adalah jumlah peserta kuliah yang sangat besar (lebih dari 80 mahasiswa), sehingga suasana kelas yang terbentuk menjadi tidak kondusif.

Tantangan yang harus dihadapi tim teaching juga harus banyak meluangkan waktu. Cara mengatasinya adalah tim teaching akan selalu mengadakan koordinasi antaranggota sehingga setiap anggota dapat saling menggantikan. Selain itu, juga perlu disusun jadwal diskusi secara bergiliran. Materi kuliah juga perlu diperhatikan. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tematema diskusi merupakan tema-tema yang aktual dan up to date. Tema yang aktual akan lebih menarik minat mahasiswa untuk membahas dan mendiskusikannya. Sumber belajar selalu dikembangkan, agar mahasiswa akan lebih mudah mengakses materi kuliah serta dapat mengembangkannya secara mandiri sehingga mahasiswa tidak selalu tergantung pada dosen. Metode brainstorming juga menjadi metode utama, mengingat dengan metode ini mahasiswa diharapkan akan lebih dinamis. Interaksi antarmahasiswa juga dapat dipertahankan dengan metode ini. Metode brainstorming juga dilakukan untuk menjaga agar proses pembelajaran tidak terkesan monoton.

c. Prestasi yang dihasilkan

· Mahasiswa bisa berbicara di depan umum, juga dapat meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa.

· Perubahan perilaku dalam diri mahasiswa, yaitu perubahan karakter mahasiswa yang pasif menjadi lebih aktif di kelas.

· Meningkatkan partisipasi mahasiswa selama proses pembelajaran.


3. JURNAL PENGGUNAAN DAN EFEKTIVITAS MENGATASI STRES DALAM OLAHRAGA ANTARA OLAHRAGAWAN AUSTRALIA DAN INDONESIA (Use and Effectiveness of Coping with Stress in Sport Among Australian and Indonesian Athletes)


a. Sejarah Kelompok


Salah satu bidang psikologi olahraga coping literatur terus membutuhkan tambahan penelitian menyangkut pengaruh budaya penelitian. Penelitian lintas budaya membantu dalam menentukan temuan generalisability, dan memberikan dasar untuk perbandingan dengan budaya mainstream (Duda & Allison, 1990). Dalam sebuah penelitian yang jarang di daerah ini, Anshel, Williams dan Hodge (1997) meneliti budaya (Amerika Serikat [AS] dan Australia) perbedaan dalam menghadapi peristiwa stres dalam olahraga. Para peneliti menemukan bahwa kelompok (budaya) perbedaan menyumbang 95% dari total dispersi. Menentukan bahwa latar belakang budaya seorang atlet dapat mempengaruhi persepsi mereka dan tanggapan afektif terhadap stres harus menghasilkan kepekaan yang lebih besar untuk kelompok dan karakteristik budaya dalam pembinaan dan dalam mengembangkan intervensi manajemen stres. Perbedaan budaya dalam menghadapi telah diperiksa mengenai sumber stres dan coping strategi antara pejabat olahraga (misalnya, Anshel & Weinberg, 1995, 1996; Rodafinos € Kaissidisâ ', Anshel, & Sideridis, 1998). Dalam studi budaya gaya pelatihan, Chelladurai, Imamura, Yamaguchi, Oinuma, dan Miyauchi (1988) menemukan bahwa atlet Jepang)) disebut gaya kepemimpinan yang lebih otokratis, sedangkan atlet Kanada ingin lebih banyak pelatihan dan instruksi dari pelatih mereka.

Studi tentang efektivitas coping dalam olahraga, khususnya yang berkaitan dengan perbandingan budaya, telah sedikit. Dalam satu studi psikologi olahraga rue memeriksa efektivitas coping, atlet Dugsdale, Eklund, dan Gordon (2002) diminta untuk menilai efektivitas strategi penanganan yang mereka telah digunakan untuk mengatasi dengan pengalaman mereka yang paling stres stres berikut yang diharapkan dan tak terduga. Dalam literatur psikologi umum, Aldwin dan Revenson (1987) dan Zeidner dan Saklofske (1996) berpendapat bahwa inkonsistensi temuan penelitian tentang efektivitas mencerminkan mengatasi masalah konseptual dasar dalam pengukuran coping. Hubungan antara coping dan hasil diukur "tanpa memeriksa langkah antara penting, apakah usaha mengatasi berhasil dalam mencapai tujuan individu".

Apakah kecenderungan coping yang efektif sebagai fungsi dari jenis stressor memiliki nampaknya belum sebelumnya diperiksa dalam olahraga kompetitif. Penilaian efektivitas coping dalam penelitian ini alamat daerah ini hampir diabaikan untuk mengatasi dalam sastra olahraga. Hal ini sangat penting mengingat penggunaan umum strategi coping maladaptif yang biasa digunakan dalam olahraga yang sering menghambat kualitas kinerja (misalnya, permusuhan terhadap lawan, kemarahan diarahkan selfâ € ', berdebat dengan pejabat game). Selain itu, sementara peneliti sebelumnya telah difokuskan pada stres yang telah berpengalaman selama kontes olahraga, telah terjadi tidak tampak dari penelitian sebelumnya memeriksa peristiwa stres yang terjadi sebelum acara kompetitif.

Dengan demikian, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membandingkan digunakan (frekuensi) dan efektivitas yang dirasakan dari strategi coping sebelum (permainan) dan selama (game) olahraga kompetitif kontes sebagai fungsi budaya, khususnya, di antara Australia dan Indonesia pria dan wanita atlet. Itu adalah hipotesis bahwa penggunaan strategi penanganan yang berpengalaman sebelum dan selama acara olahraga kompetitif akan signifiÂcantly berbeda sebagai fungsi dari dua faktor, jenis stresor dan budaya. Berdasarkan literatur terkait yang masih ada, perbedaan antara budaya terhadap efektivitas coping juga diprediksi.


b. Prestasi


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan peserta laki-laki dan perempuan dari dua Negara (Indonesia dan Australia). Dimana dalam tingkat lokal 52 untuk Australia dan 35 untuk Indonesia), regional 62 untuk Australia dan 83 untuk Indonesia dan dalam negara bagian / tingkat propinsi 22 untuk Australia dan 29 untuk Indonesia. Olahraga yang dipertandingkan adalah hoki lapangan (N = 74), softball (N = 72), basket (N = 70), voli (N = 58), dan baseball (N = 9). Untuk tujuan perbandingan budaya, bisbol dipandang sebagai sebanding dengan softball sehubungan dengan tuntutan tugas, keterampilan, dan situasi permainan (Magill, 2001). Para pelatih tim di organisasi-organisasi ini setuju untuk terlibat dalam studi atas nama atlet. Penelitian, kemudian. terdiri dari total 283 atlet, termasuk 136 Australia (M = 20.3 yrs, SD = 0,71), 68 laki-laki dan 68 perempuan, dan 147 Indonesia (M = 22.5, = 0,98 SD), 78 laki-laki dan 69 perempuan. Tingkat pengalaman di tingkat saat ini kompetisi olahraga adalah 3,9 yrs. (SD = 87) dan 2,9 yrs. (SD = 1,01), untuk Australia dan Indonesia, masing-masing.

Item ini dikategorikan menggunakan analisis isi deduktif (DCA) berdasarkan analisis independen dari dua peneliti studi ini, diikuti oleh konsensus 100%. DCA melibatkan penggunaan yang telah ditentukan set tema, kategori, atau kerangka kerja konseptual untuk mengatur kutipan diperoleh dalam wawancara pribadi (Patton, 1990). DCA sudah sesuai dalam penelitian ini karena menanggulangi persediaan multidimensi (Carver et al, 1989.), Ukuran menghadapi peristiwa stres, menjabat sebagai kerangka kerja konseptual dari yang laporan para atlet '(yaitu, mereka menggunakan strategi coping) adalah dikategorikan.

Langkah-langkah yang digunakan yaitu :

· Terfokus coping (coping aktif, perencanaan, penekanan kegiatan bersaing, menahan diri mengatasi, mencari dukungan sosial instrumental)

· Aspek mengukur lima skala dari apa yang mungkin dipandang sebagai emotionâl 'fokus coping (mencari dukungan sosial emosional, reinterpretasi positif, penerimaan, penolakan, beralih ke agama), dan

· Tiga skala mengukur coping respon yang dikatakan kurang berguna (fokus dan ventilasi dari emosi, perilaku dan mental bercerai) "(hal. 267). Instrumen COPE telah digunakan untuk mengukur coping dalam studi olahraga sebelumnya diterbitkan psikologi (misalnya, Dugsdale et al, 2002;. Gould et al, 1993.).

Hasil yang diperoleh :

· Para atlet 'strategi penanganan yang mencerminkan enam dimensi et al Carver.' S COPE, aktif coping (yaitu, meningkatkan upaya seseorang),

· Menahan diri (yaitu, menahan diri kembali dari tindakan prematur dengan menunggu kesempatan yang tepat),

· Penerimaan (misalnya, mengakui bahwa stressor adalah bagian dari olahraga; ada lagi yang bisa dilakukan),

· Penolakan (yaitu, penolakan untuk percaya pada stressor yang ada, atau bahwa stressor harus diabaikan atau tidak penting),

· Mencari dukungan sosial karena alasan emosional (misalnya, mencoba untuk mendapatkan simpati, nasihat, atau pengertian dari orang lain), dan

· Ventilasi emosi (misalnya, bertindak agresif terhadap lawan atau secara lisan mengungkapkan frustrasi).

Faktor budaya dapat menentukan cara di mana seorang individu melihat dan menanggapi peristiwa stres. Sebagai contoh. dalam studi mereka tentang pengaruh budaya terhadap perilaku sosial, Storey, Spitzer, Nebesky, Lyon, dan Wheeler (1992) dan Triandis (1994) menemukan bahwa Indonesia lebih mungkin untuk mengekspresikan kesopanan dan lebih "halus" dalam mengungkapkan ketidaksetujuan atau keberatan dari yang lain budaya. Demikian pula, Kornadt (1991) menemukan bahwa remaja Indonesia cenderung untuk mencerminkan kesalahan mereka sendiri. kesedihan, dan frustrasi yang dihitung untuk Eropa remaja, sedangkan Passchier et al. (1991) menyimpulkan bahwa Indonesia lebih cenderung kerjasama nilai dan mencapai konsensus daripada memperoleh tujuan individu, dibandingkan dengan budaya Barat. Dalam studi lintas budaya terkait, Chelladurai et al. (1988) melaporkan bahwa atlet laki-laki Jepang lebih suka menggunakan dukungan sosial sebagai strategi coping dibandingkan dengan rekan-rekan Kanada mereka. Secara keseluruhan, temuan ini sebagian dapat menjelaskan perbedaan budaya dalam menghadapi dalam olahraga.


c. Konflik yang dihadapi


Ada keterbatasan dalam studi ini yang harus dibahas dalam penelitian di masa mendatang di daerah ini. Sebagai contoh, Zeidner dan Sakiofske (1996) berpendapat bahwa efektivitas operasional dianggap harus didefinisikan untuk responden karena itu adalah "kedua contextâ € 'tertentu dan terkait dengan pertemuan khusus" dan bahwa "keberhasilan coping ditentukan oleh efek dan hasil tertentu dalam situasi ". Persepsi yang atlet efektifitas dalam penelitian ini tidak kontrol faktor-faktor kontekstual dan definisi operasional. Salah satu implikasi dari hasil saat ini adalah perlu untuk menyelidiki hubungan antara frekuensi dengan yang dipilih atlet menggunakan strategi mengatasi dan efektivitas yang dirasakan menggunakan strategi tersebut sebagai fungsi dari sumber stres.

Keterbatasan lain dalam penelitian ini, menjadi perhatian umum di sebagian besar mengatasi dalam studi olahraga (Crocker et al, 1998.), Adalah konteks situasional (misalnya, saat musim, status kontes) di mana data mengatasi diperoleh. Kemungkinan bahwa penilaian peristiwa stres dan penggunaan selanjutnya strategi coping mungkin berbeda sebagai fungsi dari karakteristik situasional olahraga kompetitif (Newcombe & Boyle, 1995). Meskipun kumpulan data dari studi ini bagi semua kelompok yang diperoleh selama bagian tengah musim masing-masing, dirasakan pentingnya kontes tertentu dan perubahan seiring mungkin dalam intensitas tegangan tidak terkontrol. perbandingan gender juga diperlukan dalam penelitian masa depan pada mengatasi dalam olahraga diberikan ukuran sampel yang tepat untuk mengatasi Tipe I kesalahan. Penelitian tambahan adalah deeded untuk menguji efektivitas dalam meningkatkan pemahaman kita mengenai proses penanggulangan dalam olahraga kompetitif. Sebuah model konseptual yang dikembangkan oleh Anshel, Kim, Kim, Chang, dan Dapatkan (2001) mungkin menyediakan satu kerangka kerja konseptual di mana untuk mengatasi perbedaan individu dalam mengatasi stres dalam olahraga.


4. JURNAL INTEGRASI PRAKASA DI CSIRO: REFLEKSI DARI INSIDER


a. Sejarah Pembentukan Kelompok


Terbentuk sejak 1916 saat itu sebagai Dewan Penasehat Sains dan Industri dan pada tahun 1926 CSIRO dibentuk dan merupakan lembaga ilmu pengetahuan nasional Australia. Akronim CSIRO sekarang resmi nama organisasi, tetapi awalnya itu berdiri untuk Persemakmuran Organisasi Penelitian Ilmiah dan Industri. Saat itu ada sekitar 6.700 staf, 4.300 staf ini adalah penelitian para ilmuwan atau staf yang khusus berkaitan dengan proyek-proyek penelitian.

CSIRO berurusan dengan masalah kesehatan Australia melalui ekosistem dan pengelolaan tanah untuk industri. Penelitiannya dilakukan di kedua perkotaan dan pedesaan pengaturan. Untuk alasan ini, CSIRO dan ilmuwan profesional dengan berbagai disiplin latar belakang, mewakili ilmu pengetahuan alam, teknik, dan ilmu sosial.

CSIRO saat ini memiliki 21 divisi, yang dianggap sebagai unit bisnis terpisah. Secara tradisional divisi ini cenderung diselenggarakan sepanjang jalur disiplin dan difokuskan pada isu-isu tertentu (misalnya atmosfer, lautan, gizi manusia, atau kehutanan). Namun struktur ini terus dalam peninjauan sebagai organisasi, menanggapi persyaratan yang relevan dengan isu-isu kontemporer sebagai bagian dari respon ini telah ada kecenderungan terhadap lebih banyak riset multidisiplin dan terpadu.


b. Prestasi


CSIRO sejauh ini dapat menciptakan holistik pemecahan masalah yang diberikan manajemen tradisional struktur berdasarkan kombinasi dari disiplin ilmu biofisik, dan aspirasi untuk menghasilkan "ilmu yang hebat."

CSIRO juga berfokus pada penyediaan solusi holistik untuk masalah utama Australia.
Sebagai contoh, organisasi berharap untuk alamat pengelolaan sumber daya alam yang signifikan
masalah Australia dengan menggabungkan kebijaksanaan beragam disiplin ilmu.

KESIMPULAN


1. Metodologi Penelitian atau Tahap-tahap Penelitian


Menurut Usman dan Purnomo (2006) tahap persiapan dan pelaksanaan dalam penelitian kualitatif meliputi beberapa tahap:

a) Studi Pendahuluan

Pada tahap ini studi pendahuluan berguna untuk menjajaki keadaan di luar lapangan, dimana peneliti harus mengetahui masalah apa yang layak dan penting untuk diteliti. (Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan kegiatan untuk melihat kelayakan dan kepatutan dari masalah yang akan diteliti pada kelompok yang bersangkutan disertai adanya konsultasi dan bimbingan dari dosen pembimbing.)

b) Pembuatan Pradesain

Penelitian Pada tahap ini penelitian tidak bertujuan untuk menguji atau membuktikan teori seperti dalam metode kuantitatif, melainkan peneliti harus dapat mengembangkan teori yang akhirnya menemukan teori baru berdasarkan data yang didapatkan dilapangan.

c) Seminar Pradesain

Pada tahap ini seminar berguna untuk mendapatkan umpan balik terhadap hal-hal yang perlu mendapatkan perbaikan. Setelah pradesain selesai dibuat, maka perlu diseminarkan atau meminta persetujuan pembimbing, barulah peneliti terjun kelapangan untuk mengumpulkan data yang relevan. (Peneliti melakukan seminar di depan kelas, di hadapan dosen pembimbing dan rekan kuliah. Seminar ini dilakukan pada saat mata kuliah seminar studi kasus.)

d) Memasuki Lapangan

Pada tahap ini langkah awal peneliti adalah memilih lokasi situasi sosial yang mengandung;

a. Tempat adalah wadah dimana manusia melakukan kegiatan tertentu.

b. Pelaku adalah semua orang yang terdapat dalam wadah tertentu.

c. Kegiatan adalah aktivitas yang dilakukan dalam wadah tertentu.

e) Pengumpulan data

Pada tahap ini data yang dikumpulkan oleh peneliti meliputi tempat, pelaku, dan kegiatan yang diperoleh dari lapangan.

f) Analisis Data

Pada tahap ini data yang diperoleh dari lapangan harus segera dianalisis setelah dikumpulkan dan dituangkan dalam bentuk laporan lapangan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pada jurnal 1: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tipe wawancara terbuka. Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk memiliki panduan dalam mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hal yang diteliti, namun pada saat yang bersamaan tetap fleksibel, itu semua tergantung pada perkembangan dan situasi dalam wawancara

Pada jurnal 2: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tipe wawancara terbuka dan tertutup. Hal ini karena wawancara digunakan dengan tujuan umtuk memperoleh masukan atau umpan balik dari mahasiswa guna memperbaiki kualitas proses pembelajaran. Tes Formatif dan Ujian juga digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan materi oleh mahasiswa pada materi tertentu.

Pada jurnal 3: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tipe wawancara terbuka. Dimana subjek mengetahui bahwa ia sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud dan tujuan wawancara itu. Para atlet diminta untuk menunjukkan tingkat stres mereka yang dialami sebelum dan selama permainan, dinilai skala mulai dari I (Tidak di semua stres) sampai 5 (Sangat stres).

Pada jurnal 4: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tipe wawancara terbuka. Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk memiliki panduan dalam mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hal yang diteliti.


§ Observasi



Pada jurnal 1: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi partisipasi dimana peneliti terlibat langsung secara aktif dalam objek yang diteliti sehingga memungkinkan informasi yang diperoleh dapat lebih maksimal dan diharapkan akan membantu dalam penelitian.

Pada jurnal 2: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi eksperimental dimana peneliti menghadirkan situasi yang disiapkan sedemikian rupa untuk meneliti sesuatu yang dicobakan.

Pada jurnal 3: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi sistematis dimana observasi ini sudah ditentukan terlebih dahulu kerangkanya, kerangka itu memuat faktor-faktor yang akan diobservasi menurut kategorinya.

Pada jurnal 4: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi eksperimental dimana peneliti menghadirkan situasi yang disiapkan sedemikian rupa untuk meneliti sesuatu yang dicobakan.


3. Uji Keakuratan

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa uji keakuratan, antara lain:

a) Uji Kredibilitas

Kredibilitas adalah kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif. Untuk mencapai kredibilitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mengunakan proses triangulasi dan meningkatkan ketekunan (keajegan pengamatan). Menurut Wiersma (dalam Sugiyono, 2007) triangulasi adalah pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Patton (dalam Moleong, 2007) mengemukakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan, yaitu:

· Triangulasi Sumber: Membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.

· Triangulasi Metode: Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.

· Triangulasi penyidik: Adanya pengamat diluar peneliti untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Adanya pengamat lain membantu mengurangi kemelencengan dalam pengumpulan data.

· Triangulasi Teori: Pengunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat.

b) Uji Dependability

Dependability adalah uji yang dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Cara untuk melakukan dependability adalah dilakukan oleh auditor yang independen atau pembimbing mengaudit keseluruhan aktifitas peneliti dalam melekukan penelitian (bagaimana peneliti mulai menentukan masalah atau fokus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, sampai membuat kesimpulan dapat ditunjukan oleh peneliti).

c) Uji Confirmability

Confirmability adalah menguji hasil penelitian yang dikaitkan dengan proses yang dilakukan.


4. Hasil

Pada jurnal 1:

· Kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania.

Berdasarkan penelitian kohesivitas dalam kelompok tersebut seperti, aktifitas kelompok dalam komunitas (main bola bareng adalah salah satu kegiatan TheJak kukusan, berkumpul setiap hari), aktifitas kelompok kecil (pulang pergi bersama saat menonton pertandingan Persija secara langsung, patungan), proses pengambilan keputusan (berdiskusi untuk menentukan keputusan yang terbaik, setiap anggota mempunyai solusi), identitas kelompok (menggunakan atribut Persija, baju, logo, shal), kohesivitas kelompok di luar lapangan (berkumpul diwarung ujung gang, dalam perjalanan kelompok menyanyikan yel-yel bersama), kohesivitas kelompok dilapangan (kelompok bergabung dengan The Jak yang lain, kelompok bernyanyi bersamasama, merayakan gol bersama, merayakan kemenangan bersama).

· Faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania.

Selain dapat melihat kohesivitas dalam kelompok tersebut, peneliti juga dapat melihat faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania. Pertama, latar belakang kelompok yaitu teman nongkrong (jarak rumah yang berdekatan menyebabkan anggota mudah bertemu), jumlah anggota (dengan anggota yang berjumlah 10 orang menyebabkan setiap individu dapat mengenal lebih dalam dengan anggota kelompok), tujuan yang sama (setiap anggota dalam kelompok memiliki keinginan yang sama yaitu ingin tim yang didukungnya menang).

Kedua, aktivitas dan kegiatan kelompok seperti main bola bareng (setiap anggota kelompok memiliki kegiatan sehari-hari bersama kelompok seperti main bola bareng dan aktivitas tersebut dapat meningkatkan kekompakkan), nonton bola bareng (kelompok memiliki kegiatan lain seperti nonton Liga Champion bersama anggota kelompok dan aktifitas tersebut dapat meningkatkan kekompakan, karena setiap anggota dapat saling bertemu). Ketiga kebersamaan kelompok seperti proses menumbuhkan keterikatan (pada saat berkumpul, anggota kelompok bercanda gurau dan tertawa bersama sehingga aktifitas ini dapat meningkatkan keterikatan antara anggota kelompok), saling membantu dan menolong (setiap anggota The Jak saling membantu jika ada yang kesusahan dan setiap anggota The Jak harus saling menolong, perilaku tersebut dapat meningkatkan kekompakkan dan kebersamaan setiap anggota).

Kegiatan-kegiatan seperti inilah yang menyebabkan adanya keterkaitan antara dua hal yaitu kohesivitas dalam kelompok tersebut dan faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania yang saling berkesinambungan.

Pada jurnal 2:

Secara keseluruhan, implementasi PTK sudah mencapai target yaitu meningkatkan partisipasi mahasiswa selama proses pembelajaran. Partisipasi dilihat dari jumlah dan frekuensi mahasiswa memberikan komentar atau pertanyaan selama diskusi kelompok maupun diskusi kelas. Selain itu, dosen juga menilai kualitas/bobot komentar yang disampaikan mahasiswa. Selama diskusi kelompok, 60-75% mahasiswa sudah turut berperan aktif. Hal ini ditunjukkan rata-rata jumlah mahasiswa yang aktif dalam setiap diskusi kelompok adalah antara 7 sampai 8 mahasiswa per kelompok. Apabila dibandingkan dengan jumlah pada diskusi pertama sampai terakhir, jumlah ini cenderung meningkat, meskipun angka ini tidak mencapai angka 100%.

Proses diskusi kelas secara umum sudah dapat memotivasi mahasiswa untuk aktif. Rata-rata jumlah mahasiswa yang aktif selama enam kali diskusi kelas sebesar 15.3%. Hasil ujian utama menunjukkan data bahwa mahasiswa yang aktif selama diskusi cenderung untuk memperoleh nilai A atau B. Indikator nilai ujian utama ini juga menunjukkan keberhasilan PTK ini, yaitu sebesar 85.9 % memperoleh nilai A atau B.

Pada jurnal 3:

· Gunakan dan variabel Efektifitas 'permainan Strategi Coping

Hasil penelitian menunjukkan pengaruh utama yang signifikan terhadap frekuensi menggunakan strategi coping untuk masing-masing dari tujuh stres pregame. menunjukkan berbagai tingkat keandalan item untuk mengatasi respon. Tes F univariat (semua DFS = 1.279) menunjukkan perbedaan budaya pada penggunaan beberapa strategi coping.

· Penggunaan dan Efektivitas Dianggap Strategi Terkait Mengatasi

Strategi penanganan yang serupa berikut sembilan stres yang dialami selama pertandingan dihitung sama dengan stres permainan. Hasil MANOVA menunjukkan perbedaan budaya dalam penggunaan strategi untuk mengatasi semua sumber stres gamerelated.
Untuk efektivitas coping, hasil MANOVA terhadap efektivitas strategi terkait dirasakan menghadapi mengungkapkan pengaruh utama yang signifikan untuk masing-masing dari sembilan sumber stres. Perbedaan signifikan budaya pada efektifitas mengatasi ditemukan. Alpha Cronbach berkisar 0,77-0,92, menunjukkan sedang hingga konsistensi tinggi untuk mengatasi item dalam stres.

Pada jurnal 4:

Studi kasus CSIRO, masalah yang diangkat mirip dengan yang ada di program multidisiplin Eropa dan isu-isu sekitarnya multidisiplin medis penelitian di Amerika Serikat. Isu yang diangkat dalam batas-batas dari CSIRO adalah kompatibel dengan tren diidentifikasi oleh Nowotny dan rekan dalam menggambarkan Mode 2 pengetahuan (Nowotny, Scott, & Gibbons, 2001). CSIRO mengembangkan penelitian terintegrasi atau "satu CSIRO" pendekatan untuk memecahkan masalah belajar untuk mencapai tujuan.


DAFTAR PUSTAKA

Achapelle, L., McCool, S. F., & Patterson, M. E. (2003). Barriers to effective natural resources planning in a “messy” world. Society & Natural Resources, 16, 473-490.

Ahmadi, A. (2002). Psikologi sosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Aldwin, C.. & Revenson, T.A. (1987). Does coping help? A reexamination of the relation between coping and menial health. Journal of Personality and Social Psychology, 53, 337‑348.

Black, J. A., & Champion, D. J. (2001). Metode dan masalah penelitian sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.

Carver, C.S., Scheier, M.F., & Weintraub, J.K. (1989). Situational coping and coping dispositions on a stressful transaction. Journal of Personality and Social Psychology, 66, 184‑195.dalam Analisis CSIS Tahun XXIV/2000 Nomor 2. CSIS, Jakarta.

CSIRO (2003). The Wagerup air quality study: A research proposal. Melbourne: Author.

CSIRO (2004). Annual Report: 2003-04. Retrieved August 31, 2005 from http://www.csiro.au/proprietaryDocuments/CSIROAnnualReport2003to2004.pdf

Freire, Paulo. 2002, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka pelajar, Yogyakarta (terjemahan dari: The Politic Education : Culture, Power and Liberation oleh Prihantoro dan Furdiyartanto).

Ibrahim dan Nana Syaodih. 1996, Perencanaan Pengajaran, Rineka Cipta dan Depdikbud, Jakarta.

Lazarus, R.S. (1999). Stress and emotion: A new synthesis. New York: Springer,

Sarwono, S. W. (2005). Psikologi sosial: Psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Suryabrata, C. (2007). Ciri-ciri kelompok yang Metodelogi penelitian sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Tilaar, H.A.R. 2000. ”Pendidikan Abad XXI: Menunjang Knowledge Based Economy”

Walgito, B. (2007). Psikologi kelompok. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Wandersman, A. (2003). Community science: Bridging the gap between science and practice with community centred models. American Journal of Community Psychology, 31, 227-242.

Wikipedia. (2007). Jakmania. http://id.wikipedia.org/wiki/the_jakmania.htm. 21 Maret 2007

Kamis, 07 Oktober 2010

" Dewan Pembangunan Musolah "

Dewan Pembangunan Musolah Al-Hidayah

1. Sejarah terbentuknya Dewan Pembangunan Musolah

Berawal dari mininya lokasi peribadatan dilingkungan perumahan BMI, ketua Rt lingkup blok I memiliki program membangun sebuah musolah agar dapat membina masyarakat yang lebih beriman, dengan didukung oleh anggota majelis ta’lim bapak-bapak dan ibu-ibu yang memiliki perkumpulan pengajian masing-masing. Dengan alasan setiap mengadakan pengajian dilakukan dari rumah ke rumah warga, maka untuk suatu keinginan memiliki lokasi yang tetap mereka mendukung program pembangunan musolah tersebut.

Lantas dibentuklah sebuah Dewan Pembangunan Musolah yang diambil dari perwakilan majelis ta’lim bapak-bapak dan ibu-ibu, mereka bertugas untuk mempelancar jalannya pembangunan musolah dengan tanggung jawab pencarian dana.

Tugas pertama yang dilakukan Dewan Pembangunan Musolah adalah membuat proposal yang bertujuan permintaan dana sumbangan yang diedarkan dari rumah ke rumah warga serta ke instalasi perusahaan-perusahan. Hingga terselesainya pembanguan musolah tersebut.


2. Perkembangan yang sudah terlihat

Berawal dari over kredit 1 rumah, lalu dibongkar hingga dibentuk menjadi sebuah pondasi musolah, mencicil rekening listrik dan mencicil storan BTN tiap bulannya dimulai dari tahun 2007 hingga bulan September 2010 kemarin baru lunas. Tugas Dewan Pembangunan Musolah mendapat respon yang baik dari warga karena telah mencapai hasil yang sangat memuaskan.

Pada bulan ini mereka sedang mengusahakan untuk melakukan pindah nama dari pemilik sebelumnya menjadi atas nama warga blok I yang dilakukan dengan mewakafkannya oleh karena itu pengurusan dilakukan diNotaris untuk pengesahan agar lebih legal.
Saat ini musolahpun sudah diberi nama oleh Dewan Pembangunan Musolah yaitu musolah Al-hidayah,dan dapat digunakan oleh warga untuk berkegiatan ibadah.


3. Keanggotaan Dewan Pembangunan Musolah

Ketua Dewan : Bp Supriyono

Sekertaris : Bp Odong Supriatna

Bendahara : Ibu Khotijah

Sek. Perlengkapan : Bp Idam Kholik

Humas : Anak-anak remaja


4. Kegiatan

Selain bertugas dalam pembangunan Dewan Pembangunan Musolah juga memiliki tanggung jawab dalam pengembangan kegunaan musolah yang sudah berdiri kokoh, mereka ditugaskan untuk mengajak atau mengadakan kegiatan dimusolah

Rabu, 09 Juni 2010

Encopresis

Encopresis umumnya disebabkan oleh sembelit, dengan menahan refleksif dari bangku, oleh gangguan fisiologis, psikologis, atau berbagai neurologis, atau dari pembedahan (kejadian agak jarang). Pola pengeluaran feses ditempat yang tidak sesuai, terlepas apakah pengeluarannya adalah tidak disadari atau disengaja

Sekitar 17% pada usia 3 tahunan dan 1% pada usia 4 tahunan mengalami encopresis, seringkali disebabkan tidak mau belajar ke toilet. Meskipun begitu, sembelit kronis, yang merentangkan dinding usus besar dan mengurangi kesadaran anak tersebut untuk usus besar yang penuh, menghalangi kontrol otot, kadangkala menyebabkan encopresis.

kriteria diagnostik untuk encopresis adalah:
  1. Pengulangan bagian dari kotoran ke tempat yang tidak patut (misalnya, pakaian atau lantai) apakah sukarela atau tidak disengaja
  2. Setidaknya satu peristiwa seperti bulan selama 3 bulan
  3. Kronologis usia minimal 4 tahun (atau setara dengan tingkat perkembangan)
  4. Perilaku tersebut tidak semata-mata karena efek fisiologis dari suatu zat (misalnya, obat pencahar) atau kondisi medis umum, kecuali melalui mekanisme yang melibatkan sembelit.

Jangan ada kata menyesal

Suatu hal yang sangat sering dijumpai dalam kehidupan yaitu kata menyesal...........
seringkali kita salah mengartikan kata penyesalan yang terjadi dalam kehidupan ini dan pemaknaan yang melenceng dari arti sesungguhnya.....
sebenarnya perilaku menyesal merupakan suatu hal tindakan yang kita sadari itu merupakan hal yang salah namun tetap saja kita ulangi.........

bukan berarti hal untuk menjadikan kita mengutuk diri dengan berkata ini penyesalan yang seharusnya tidak kudapatkan.........

Rabu, 02 Juni 2010

Kenali sedini mungkin gagap

Tanda-tanda awal dan Bantuan yang diberikan

Tanda-tanda awal kegagapan terlihat pada usia dua tahun atau pada saat anak mulai belajar merangkai kata-kata menjadi suatu kalimat. Sering kali orang tua merasa jengkel dengan kegagapan anak, tetapi hal ini merupakan hal yang umum ditemui saat anak masih dalam tahap perkembangan berbicara. Kesabaran merupakan sikap terpenting yang harus dimiliki oleh orang tua selama anak berada dalam tahap ini. Seorang anak mungkin mengalami gangguan kelancaran berbicara selama beberapa minggu atau bulan dengan gejala yang hilang timbul. Sebagian besar anak akan lancar berbicara dan tidak akan gagap lagi bila kegagapannya itu dimulai pada usia kurang dari 5 tahun.

Saat anak mulai memasuki usia sekolah, kemampuan dan keterampilan berbicaranya akan semakin terasah. Umumnya anak akan semakin lanca berbicara dan ia sudah tidak gagap lagi. Jika ia masih gagap, umumnya pada usia tersebut ia sudah mulai merasa malu akan hal tersebut. Anak seperti ini membutuhkan latihan khusus untuk membantunya dalam berkomunikasi.

Bantuan Yang Diperlukan
Seorang anak sebaiknya mulai mendapat bantuan khusus bila:

* orang tua mulai merasa khawatir akan kelancaran berbicara anaknya
* anak terlalu sering mengulang kata-kata atau bahkan seluruh kalimat
* pengulangan suara-suara seperti “aa” semakin sering diucapkannya
* anak tampak kesulitan saat akan berbicara
* gangguan kelancaran berbicaranya semakin berat
* mimik muka anak tampak tegang saat berbicara
* suara anak terdengar tegang saat mengucapkan kata-kata bernada tinggi
* anak sering menghindari keadaan dimana ia harus berbicara

Jika ada tanda-tanda diatas yang tampak saat anak berbicara maka sebaiknya orang tua mulai menghubungi dokter atau ahli terapi bicara. Semakin dini bantuan yang diberikan kepada seorang anak maka semakin baik pula hasil yang akan diperoleh

penanganan untuk anak yang mengalami gagap

Bagaimana menghadapi anak yang gagap?

  1. Anak Gagap Jangan Digertak
  2. Setelah anak habis berbicara, minta pada anak untuk tarik nafas dalam-dalam. Kemudian biarkan dia beraktiviti semula. Hal ini akan membuatkan anak anda tenang sebentar dan tidak gopoh dalam bertutur.
  3. 3. Beritahu anak untuk berbicara dengan tenang dan lambat. Kadang-kadang anak-anak terlalu gembira untuk menceritakan segalanya. Tenangkan dia terlebih dahulu.
  4. Ulangkan perkataan yang sukar untuk disebut itu beberapa kali agar dia sebut dengan lancar semula.
  5. Puji anak ketika dia mula bercakap dengan tenang dan lancer.
  6. Para guru di sekolah sangat diharapkan kontribusinya agar anak-anak yang gagap tidak menjadi semakin terpuruk oleh ulah teman-temannya, akibat sering menerima ejekan dan gangguan
  7. Mengajar anak berenang adalah satu pencegahan yang sangat baik. Kerana dengan aktiviti ini, anak belajar untuk mangawal penafasan.
  8. Untuk mengobati gagap diperlukan tekat, kerja keras serta dukungan dari orang-orang dekat. si penderita harus dibantu untuk melatih kegegapannya hingga sembuh dengan menggunakan metode-metode yang mungkin ada. untuk mengatasi efek psikis tadi diperlukan bimbingan konseling atau psikolog.

Tanda_tanda gagap

Gagap dapat ditandai dengan ciri-ciri suara mulut yang berulang (terjadi repetisi), jaraknya panjang antara satu kata dengan kata berikutnya, atau mengalami blokade ketika akan mengucapkan sebuah kata.

"Penyebab gagap ini tidak tunggal, melainkan merupakan kombinasi yang kompleks antara faktor biologis dan kesalahan dalam proses belajar wicara," ujar William Murphy, peneliti di Department of Speech, Language and Hearing Science, Purdue University, AS.

Seorang anak dapat dideteksi mengalami kegagapan jika selama enam bulan atau setahun ia menunjukkan gejalanya terus-menerus. Biasanya dalam keluarga juga terdapat riwayat orang yang sudah lebih dulu mengalami kegagapan. Dalam hal ini biasanya lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.

Di Indonesia, kita tidak pernah tahu berapa jumlah orang yang mengalami gagap. Namun, di Negara Paman Sam diperkirakan sekitar 5 persen anak pra sekolah dan 1 persen orang dewasa mengalami gagap.

Tingkat kekacauan saat berbicara ini sangat berbeda-beda pada setiap orang yang mengalami kegagapan. Ada yang tingkat kegagapannya tidak terlalu parah, tetapi hal itu sudah bisa menyebabkan penderitanya menarik diri dari pergaulan dan enggan berpartisipasi dalam percakapan karena merasa minder atau rendah diri.

Umumnya tanda-tanda awal kegagapan terlihat pada usia dua tahun atau pada saat anak mulai belajar merangkai kata-kata menjadi suatu kalimat. Sering kali orang tua merasa jengkel dengan kegagapan anak, tetapi hal ini merupakan hal yang umum ditemui saat anak masih dalam tahap perkembangan berbicara. Kesabaran merupakan sikap terpenting yang harus dimiliki oleh orang tua selama anak berada dalam tahap ini. Seorang anak mungkin mengalami gangguan kelancaran berbicara selama beberapa minggu atau bulan dengan gejala yang hilang timbul. Sebagian besar anak akan lancar berbicara dan tidak akan gagap lagi bila kegagapannya itu dimulai pada usia kurang dari 5 tahun.

Pengertian gagap

Pengertian Gagap

Gagap adalah suatu gangguan bicara di mana tanpa disadari adanya pengulangan dan pemanjangan suara, suku kata, kata, atau frasa; serta jeda yang mengakibatkan gagalnya produksi suara. Umumnya, gagap bukan disebabkan oleh proses fisik produksi suara atau proses penerjemahan pikiran menjadi kata. Gagap juga tak berhubungan dengan tingkat kecerdasan seseorang, orang yang gagap umumnya normal.

Gangguan ini bersifat variabel, yang berarti bahwa pada situasi tertentu, seperti berbicara melalui telpon, tingkat kegagapan dapat meningkat atau menurun. Faktor genetik dan neurofisiologi diduga berperan atas timbulnya gangguan ini. Banyak teknik terapi bicara yang dapat meningkatkan kefasihan bicara pada beberapa orang.

Salah satu teknik terbaru dalam penyembuhannya adalah dengan pijat syaraf bicara di sekitar wajah, mulut dan leher seseorang yang gagap. Seseorang yang gagap mempunyai kecenderungan untuk tidak berbicara dalam kesehariannya. Hal ini menyebabkan otot dan syaraf bicaranya menjadi kaku, sehingga mulut menjadi lebih sulit digerakkan.

Setelah otot dan syaraf gagap lentur karena dipijat, barulah sang gagaap ini diberikan terapi bicara sesuai dengan usianya. Tentu saja terapi bicara bagi anak, berbeda dengan terapi bicara anak-anak. Bagi seseorang yang menderita gagap karena genetika, disarankan untuk selalu memijat syaraf ini setiap hari.

Hal yang perlu diketahui tentang reseptif

Bantuan serta hal yang penting

Tempat untuk mendapatkan bantuan gangguan reseptif
* dokter anda
* perawat kesehatan anak
* pidato patologi

hal yang perlu diingat
  1. gangguan bahasa reseptif berarti bahwa anak memiliki kesulitan dengan pemahaman apa yang dikatakan kepada mereka.
  2. penyebab gangguan bahasa reseptif tidak diketahui, tetapi diduga terdiri dari sejumlah faktor yang bekerja dalam kombinasi. pilihan pengobatan termasuk terapi wicara-bahasa.

Gejala gangguan komunikasi reseptif

Gejala gangguan bahasa reseptif pada seorang anak dengan gangguan bahasa juga memungkinkan anak memiliki gangguan bahasa ekspresif, yang berarti mereka memiliki kesulitan dengan menggunakan bahasa lisan. gejala berbeda dari satu anak kelainnya, tetapi bisa termasuk:

* Sering menangkap kata dengan tidak tepat
* Menggunakan kata-kata yang salah dalam pidato
* Membuat kesalahan gramatikal
* Mengandalkan pendek, konstruksi kalimat sederhana
* Bergantung pada saham frase standar
* Ketidakmampuan untuk 'datang ke titik' dari apa yang mereka katakan
* Masalah dengan menceritakan kembali sebuah cerita atau menyampaikan informasi
* Ketidakmampuan untuk memulai atau mengadakan percakapan.

Diagnosis dan pengobatan dalam gangguan reseptif

Metode diagnosis dan Pengobatan

Metode diagnosis dalam penilaian kebutuhan untuk menentukan daerah-daerah tertentu anak kesulitan dalam gangguan komunikasi, terutama bila mereka tidak menanggapi bahasa lisan.diagnosis mungkin termasuk:
  • Mendengar tes oleh audiolog untuk memastikan masalah bahasa tidak disebabkan oleh gangguan pendengaran dan untuk menetapkan apakah atau tidak anak mampu memperhatikan suara dan bahasa (auditori penilaian proses).
  • Menguji pemahaman anak (oleh patolog pidato) dan membandingkan hasilnya ke tingkat keterampilan yang diharapkan untuk usia anak. Jika anak dari sebuah rumah yang tidak berbahasa inggris, penilaian pemahaman harus dilakukan dalam bahasa pertama mereka dan juga dalam bahasa inggris, dengan menggunakan bahan budaya yang sesuai.
  • Tutup observasi anak dalam berbagai pengaturan yang berbeda saat mereka berinteraksi dengan berbagai orang.
  • Penilaian oleh neuropsychologist untuk membantu mengidentifikasi masalah kognitif yang terkait.
  • Visi tes untuk memeriksa kehilangan penglihatan.

Pengobatan pilihan untuk kemajuan si anak tergantung pada berbagai faktor individu, misalnya apakah cedera otak atau tidak hadir. Pilihan pengobatan dapat mencakup:

* Pidato bahasa terapi
* Satu-satu terapi serta terapi kelompok, tergantung pada kebutuhan anak
* Khusus pendidikan kelas di sekolah
* Integrasi dukungan di prasekolah atau sekolah dalam kasus-kasus kesulitan yang parah
* Arahan ke layanan kesehatan mental untuk perawatan (jika ada juga masalah perilaku yang signifikan).

Penyebab dari gangguan reseptif

Penyebab gangguan reseptif yang sering dijelaskan dalam banyak kasus seringkali tidak diketahui, tetapi diduga terdiri dari sejumlah faktor yang bekerja dalam kombinasi, seperti kerentanan genetik anak, eksposur anak untuk bahasa, dan pemikiran mereka perkembangan umum dan kognitif (dan pemahaman) kemampuan. gangguan bahasa reseptif yang sering dikaitkan dengan gangguan perkembangan seperti autisme. Dalam kasus lain, gangguan bahasa reseptif disebabkan oleh cedera otak seperti trauma, tumor atau penyakit.

Proses pemahaman bahasa lisan dalam memahami bahasa lisan merupakan proses rumit. Anak mungkin mengalami masalah dengan satu atau lebih dari keterampilannya seperti berikut ini:
  • Mendengar - kehilangan pendengaran dapat menjadi penyebab masalah bahasa.
  • Visi - melibatkan pemahaman bahasa isyarat visual, seperti ekspresi wajah dan gerak tubuh. Seorang anak dengan kehilangan penglihatan tidak akan memiliki tambahan isyarat ini, dan mungkin akan mengalami masalah bahasa.
  • Perhatian - kemampuan anak untuk memperhatikan dan berkonsentrasi pada apa yang dikatakan terganggu.
  • Pidato suara - ada masalah dalam membedakan antara bunyi pidato serupa.
  • Memori - otak harus mengingat semua kata dalam kalimat untuk memahami apa yang telah dikatakan. Anak mungkin mengalami kesulitan dengan mengingat string suara yang membentuk sebuah kalimat.
  • Kata dan pengetahuan tata bahasa - anak tidak dapat memahami arti kata-kata atau struktur kalimat.
  • Pengolahan kata - anak mungkin mengalami masalah dengan pengolahan atau memahami apa yang telah dikatakan kepada mereka.

Pengertian gangguan komunikasi reseptif

Pengertian dari gangguan komunikasi reseptif adalah suatu gangguan bahasa yang berarti bahwa anak memiliki kesulitan dalam suatu pemahaman yang dikatakan kepada mereka oleh orang lain. Dalam kebanyakan kasus, anak dengan masalah bahasa reseptif juga memiliki gangguan bahasa ekspresif, yang berarti mereka mengalami kesulitan menggunakan bahasa lisan.

Diperkirakan bahwa antara tiga dan lima persen anak memiliki gangguan bahasa reseptif, atau ekspresif, atau campuran keduanya. nama lain untuk gangguan bahasa reseptif meliputi gangguan pendengaran dan pusat pengolahan defisit pemahaman. pilihan pengobatan termasuk terapi wicara-bahasa.

Tidak ada yang menetapkan standar untuk menunjukkan gejala gangguan bahasa reseptif, karena bervariasi dari satu anak ke yang lainnya. Namun, gejala yang termasuk antara lain:

* Tidak tampak mendengarkan ketika mereka bicara
* Kurangnya bunga ketika buku cerita yang dibaca kepada mereka
* Ketidakmampuan untuk memahami kalimat rumit
* Ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi lisan
* Membeokan kata atau frasa (echolalia)
* Bahasa keahlian di bawah tingkat yang diharapkan untuk usia mereka.

Perkembangan Bahasa Ekspresif dan Reseptif Menurut Myklebust

Myklebust membagi tahap perkembangan bahasa berdasarkan komponen ekspresif dan reseptif sebagai berikut :
  1. Lahir – 9 bulan : anak akan mulai mendengar dan mengerti, kemudian berkembanglah pengertian konseptual yang sebagian besar nonverbal.
  2. Sampai 12 bulan : anak berbahasa reseptif auditorik, belajar mengerti apa yang dikatakan, pada umur 9 bulan belajar meniru kata-kata spesifik misalnya dada, muh, kemudian menjadi mama, papa.
  3. Sampai 7 tahun : anak berbahasa ekspresif auditorik termasuk persepsi auditorik kata-kata dan menirukan suara. Pada masa ini terjadi perkembangan bicara dan penguasaan pasif kosa kata sekitar 3000 buah.
  4. Umur 6 tahun dan seterusnya : anak berbahasa reseptif visual (membaca). Pada saat masuk sekolah ia belajar membandingkan bentuk tulisan dan bunyi perkataan. Serta anak berbahasa ekspresif visual (mengeja dan menulis).

Curhatku

Sendiriku diantara Keramaian

Sendiri di tengah keramaian, bahkan dengan keluarga dan teman-teman di sekitar, aku merasa sendiri. Aku merasa begitu tidak mampu membuat mereka mengerti apa yang terjadi padaku, tanpa aku membicarakannya kepada mereka semua.

Semenjak dua tahun yang lalu, ketika aku di vonis memiliki kelainan yang akan berdampak pada saat aku menjadi lebih dewasa oleh seorang dokter. aku menjadi sangat tertekan dan aku berpikir bahwa dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih baik tanpa aku. Tidak rasional? Ya_aku tahu, tapi itu tidak menghentikan pikiran dan perasaanku pada sebuah kenyatan hidup yang sedang aku jalani tampak begitu nyata.

Selalu dalam hati berfikir akankah aku menjadi satu dalam keramaian. Ada rasa yang menyedihkan ketika secara nyata aku sebenarnya ada dalam keramaian tapi selau saja aku merasa sendiri dan sepi. Satu alasan yang menyakitkan telah membuatku berfikir kalau aku hidup dalam dunia pikiranku sendiri. Perbedaan antara yang lain telah membuatku menarik diri dari keramaian. Aku takut akan sendiriku, tapi aku ragu untuk menyatu dengan keramaian.

Penyelesaian masalah

Sangat menyesakkan dalam situasi keramaian, justru merasa kesepian. Tidak bisa merangkai pertemanan dan membaur dengan suasana keramaian itu. Sepertinya ada yang hilang dalam hidup ini, kecewa rasanya. Kesendirian karena merasa diri bersalah atau tidak mampu. Sebenarnya semua hambatan ini bisa aku dihindari dengan memberanikan diri untuk intens dalam keramaian, tidak merasa bersalah atau menghakimi diri sendiri. Orang lain akan terima dengan keadaan yang sedang aku jalani asalkan mengaku apa yang ada dalam pikirkanku atau sesuatu yang aku rasakan. Teruslah berjuang untuk mencari keceriaan.

Mengapa rasa kesepian itu begitu menyakitkan? Hal yang utama adalah kegelisahan tentang eksistensi yang aku miliki. Dalam kesepian, semua pengetahuan, identitas, personality, karakter, EGO menjadi tidak terungkap. Semakin aku menyatu dengan kesendirian, semakin aku melihat ada sesuatu yang salah dalam diriku, hal Inilah yang akan menjadi permasalahan yang menakutkan untukku.

Karena ternyata aku tidak suka menghadapi diri ini apa adanya. Jika aku mengubah rasa kesepian ini menjadi kesendirian, sebenarnya aku bisa mengungkap banyak hal dan segala gejolak keinginan yang terpendam akan muncul. Aku akan menghadapi diriku yang sebenarnya.

Saat aku berada dalam kerumunan orang, maka aku seakan-akan melihat identitas diri yang aku miliki. Tetapi sebenarnya yang aku lihat adalah identitas palsu. Mengapa? Karena dalam banyak orang aku akan melihat perbedaan diri dengan yang lain. Biarlah kesendirian ini menjadi cermin untuk melihat siapakah diriku yang sebenarnya.

Suatu hari, jika aku sudah siap, untuk bisa mengenal diriku lebih dalam, Aku akan melangkah dengan penuh keyakinan dalam hidup ini. Karena aku tahu pasti tentang diriku dan tujuan hidupku. Aku akan mencintai kehidupan ini dan menerima hidup sebagai sesuatu yang sangat berharga.

Kasus anak yang mengalami gangguan komunikasi

Rahma yang sudah berusia 5 tahun dan masih belum bisa berbicara dengan jelas. Hanya dapat mengatakan beberapa kata dan itupun cadel serta tidak jelas, dibandingkan teman sebayanya. Beberapa anak memang ada yang lebih cepat berjalan atau lebih cepat berbicara, berharap bahwa Rahma akan bisa berbicara lancar apabila terus dilatih.

Kasus ini adalah kasus yang umum ditemukan di kalangan orangtua yaitu kasus anak terlambat berbicara. Banyak orang tua ragu untuk mencari bantuan karena mereka berusaha meyakinkan diri mereka bahwa anak nanti juga akan bisa berbicara. Mengetahui apa itu normal dan yang tidak di dalam perkembangan berbicara dan bahasa anak dapat membantu anda untuk lebih teliti memperhatikan apakah anak berada dalam jalur yang benar.

Terapi dan kriteria gangguan ekspresif

Terapi untuk anak yang mengalami gangguan komunikasi Ekspresif
  • biasanya 50% dapat sembuh dengan spontan
  • latihan pendorong perilaku dan praktek fonen (unit suara), perbendaharaan kata, dan konstruksi kalimat
  • konseling parental suportif

Kriteria diagnostik gangguan bahasa ekspresif
  1. Pembendaharaan kata yang terbatas, membuat kesalahan dalam pola kalimat, sulit untuk mengingat kata-kata atau membentuk kalimat panjang,
  2. terganggu dalam prestasi akademis, pekerjaan, atau komunikasi sosial,
  3. tidak memenuhi kriteria gangguan pervasif atau gangguan reseptif-ekspresif campuran,
  4. jika terdapat MR akan kesulitan dalam motorik bicara, pemusatan lingkungan, dan kesulitan bahasa.

Penyebab serta akibat dari gangguan ekspresif

Penyebab anak yang mengalami gangguan komunikasi Ekspresif karena;
  • Trauma (belum jelas)
  • Faktor genetik ( biasanya memiliki riwayat keluarga fonologis atau gangguan komunikasi lain)
  • Gangguan neurologis pada anak ( kerusakan / keterlambatan maturasi pada serebral, otak kiri)
  • Memiliki gangguan pendengaran

Akibat dari gangguan komunikasi Ekspresif antara lain;
  • Masalah emosional pada usia sekolah (citra diri buruk, frustrasi, depresi)
  • Mengganggu pencapaian akademik
  • Masalah perilaku: hiperkativitas, rentang perhatian singkat, perilaku menarik diri, menghisap ibu jari, mengompol, gangguan konduksi

Pengertian dan karakteristik anak yang mengalami gangguan ekspresif

Pengertian Singkat Tentang Gangguan Komunikasi Ekspresif

Seorang anak yang mengalami gangguan komunikasi ekspresif biasanya memiliki intelegensia non verbal, pendengaran, kemampuan komprehensi, emosi dan artikulasi yang kurang normal. Gangguan ekspresif disebabkan oleh disfungsi otak yang mengakibatkan ketidakmampuan menerjemahkan suat gagasan untuk berbicara. Biasanya anak akan menggunakan mimic wajah untuk menyatakan kehendak.

Perbendaharaan kata terbatas, kalimat pendek, tidak lengkap dan tata bahasa kacau. Cerita dan kejadian disampaikan secara tidak terorganisasi. Sebanyak 50 - 80 % di antara anak-anak ini akan mencapai kemampuan berbicara yang normal sebelum umur sekolah. Anak yang mengalami gangguan ekspresif dapat menunjukkan gangguan lainnya misalnya gangguan membaca dan gangguan pemusatan perhatian. Terkadang anak tampak normal, tetapi tetap mengalami kesulitan bila harus menceritakan suatu hal yang kompleks.

Hambatan ini akan menurunkan prestasi akademik, menyebabkan gangguan personal-sosial dan timbulnya rasa rendah diri. Di kemudian hari, anak-anak ini mempunyai resiko mengalami disleksia dan berbagai gangguan psikiatrik lainnya. Berbeda dengan developmental language delay yang dapat sembuh sendiri, anak-anak ini tetap mengalami gangguan bila tidak dilakukan intervensi.

Gangguan bahasa Ekspresif adalah adanya gangguan bahasa dalam hal perbendaharaan kata yang dimiliki, pemakaian keterangan (tenses) dengan kurang tepat, produkasi kalimat yang tidak kompleks, dan mengingat kata-kata yang kurang sempurna. Prevelensi anak yang mengalami gangguan komunikasi ekspresif dialami pada anak usia sekolah, baik pada laki-laki/ perempuan

Kenali ciri-ciri anak yang mengalami gangguan komunikasi Ekspresif biasanya mengalamj;

  • Indikasi: usia 18 bulan -> saat anak tidak dapat mengucapkan kata dengan spontan bahkan untuk kata tunggal
  • Sebelum usia 3 th -> bentuk kurang berat tidak terjadi smpai masa remaja awal, tetap menunjukan keinginan berkomunikasi
  • Saat mulai bicara, defisit bahasa menjadi jelas, artikulasi immature
  • Usia 4 th -> berbicara dengan frase pendek, biasanya meluapkan kata yang lama saat mereka mempelajari kata yang baru
  • Bahasa verbal atau isyarat di bawah tingkat usianya
  • Skor rendah pada tes verbal, ekspresif yang baku
  • Bahasa, perbandaharaan kata, tata bahasa sederhana dan sangat terbatas

Perkembangan bahasa anak yang normal

Perkembangan Bicara dan Bahasa yang Normal

Ingatlah bahwa sangat penting untuk mengerti perkembangan bicara dan bahasa pada anak.

Sebelum 12 bulan anak: Mengoceh atau ‘babbling’ adalah tahap awal dari perkembangan berbicara. Apabila bayi beranjak besar (sekitar 9 bulan), mereka mulai untuk menggunakan nada yang berbeda-beda untuk berbicara, berkata ‘mama’ dan ‘dada’ (tanpa mengerti artinya). Sebelum usia 12 bulan juga, anak mulai tertarik pada suara. Ketika usia 12-15 bulan : Anak pada usia ini memiliki variasi babbling mereka dan minimal 1-2 kata yang dimengerti sudah dikeluarkan (tidak termasuk ‘mama’ dan ‘dada’) . Anak usia ini sudah dapat mengerti dan mengikuti petunjuk tunggal (seperti: “Tolong berikan saya mainan itu”) atau mengerti perintah dan sedikit pertanyaan (contoh : Mana hidungmu?), dan usia 18-24 bulan : Anak sudah memiliki sekitar 20 kata pada usia 18 bulan, dan sekitar 50 kata atau penggalan kata pada usia 24 bulan. Pada usia 24 bulan, anak harus belajar mengkombinasikan 2 kata seperti “Susu sapi”. Usia 2 tahun seharusnya juga sudah dapat mengikuti 2 macam perintah (seperti : “Tolong ambilkan mainan itu dan bawakan saya gelasmu”). Usia 2-3 tahun : Koleksi kata-kata anak sudah meningkat, dapat mengkombinasikan 3 atau lebih kata menjadi kalimat, mengerti berbagai macam perintah, dapat mengidentifikasikan warna dan mengerti konsep deskriptif (contoh : besar vs kecil)

Terapi yang bisa dilakukan untuk anak yang mengalami gangguan komunikasi

Terapi yang harus dilakukan pada anak dengan gangguan komunikasi

Orangtua berperan penting karena diharapkan dapat membantu untuk mengevaluasi dan mengamati perkembangan komunikasi anak dengan cara memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak meskipun anak masih bayi, ketika sebagai orangtua berbicara dan menyanyi pada anak dapat membantu anak untuk merangsang peniruan suara dan bahasa tubuh; bacalah buku untuk anak, dimulai pada usia anak 6 bulan dengan buku yang sesuai dengan usia anak.

Terapi yang digunakan untuk anak yang mengalami gangguan komunikasi diantaranya ialah melakukan terapi bicara dan konseling psikologis untuk kecemasan sosial dan msalah-masalah emosional lainnya (Nevid, 2002). Kaplan (2002) ada beberapa terapi yang dilakukan untuk anak yang mengalami gangguan komunikasi yaitu dengan melakukan latihan pendorong perilaku dan praktek dengan fonem, perbendaharaan kata, mengontruksi kalimat, anak diberikan instruksi linguistik, bicara dan bahasa yang diintegrasikan ke dalam berbagai lingkungan yang dilakukan secara bersama-sama, terapi bicara, pengalihan perhatian, sugesti dan relaksasi.
Karakteristik dari anak-anak dengan gangguan komunikasi

Hati-hati apabila menemukan kasus anak yang mengalami gannguan komunikasi maka, kenalilah gejala awal saat bayi tidak berespon dengan suara atau tidak bisa’bubbling’ atau mengoceh merupakan hal yang perlu diperhatikan.

Pada usia 12-24 bulan, perhatian lebih perlu diberikan pada anak dengan :
  • Ketika tidak dapat menunjuk atau melambai pada usia 12 bulan
  • Senang menggunakan bahasa tubuh dibandingkan vokalisasi pada usia 18 bulan
  • Memiliki kesulitan menirukan suara pada usia 18 bulan

Pada anak usia lebih dari 2 tahun, anda harus mencari bantuan apabila :

* Anak hanya dapat mengulang kata atau suara tanpa mampu menghasilkan kata atau kalimat sendiri
* Anakpun hanya mengucapkan beberapa kata atau suara berulang-ulang
* Si anak tidak dapat mengikuti petunjuk sederhana yang diberikan
* Memiliki suara yang tidak biasa seperti (suara hidung)
* Si anak lebih sulit dimengerti dibandingkan dengan sebayanya, orangtua dan pengasuh diharapkan sebaiknya dapat mengerti separuh dari yang diucapkan anak pada usia 2 tahun, sekitar ¾ dari yang diucapkan pada anak 3 tahun, dan pada usia 4 tahun, anak anda seharusnya sudah dapat dimengerti seluruh kata-kata yang dia keluarkan

Hal yang menyebabkan gangguan komunikasi

Penyebab gangguan komunikasi


Banyak hal yang menyebabkan Gangguan komunikasi bisa muncul dari kondisi lain seperti;

· gangguan pembelajaran,

· cerebral palsy,

· retardasi mental, atau

· sumbing bibir dan

· palatum.

gangguan komunikasi juga bisa disebabkan oleh gangguan pada masalah;

· Memproduksi kata-kata karena motorik mulut, biasanya di dalam speech therapy akan ditangani dengan pendekatan tertentu dilihat dari kebutuhan anak, pendekatan tersebut dapat berupa blowing atau oral motorik yang lain.

· Gangguan pada pendengaran sehingga tidak bisa mendengar kata apalagi mengingat kata-kata dengan jelas, biasanya diperiksa dulu pendengarannya atau umumnya anak-anak yang mengalami pendengaran lebih banyak belajar melalui visual learning, dengan metode COMPIC atau PECS untuk menjembatani komunikasi pada anak penyandang autisme.

· Tidak memahami arti kata-kata dan mengasosiasikan dengan situasi, ditangani dengan cara mengajari meaning kata, faktor lingkungan adalah faktor terakhir tapi sekaligus menopang seluruh faktor di atas bisa efektif, dan bisa ditangani melalui pendekatan "functional comunication" yang bisa di"set up" situasinya oleh lingkungan, dan bisa secara praktis dilakukan orang tua.

· Lingkungan tidak mendukung anak untuk termotivasi berbicara atau mengembangkan kemampuan bicaranya.

Pengertian gangguan komunikasi

Gangguan Komunikasi
Pengertiannya

Menurut Van Riper: Gangguan berbicara dapat disimpulkan sebagai berikut: berbicara dikatakan terganggu bila berbicara itu sendiri membawa perhatian yang tidak menyenangkan pada si pembicara, komunikasi itu sendiri terganggu, atau menyebabkan si pembicara menjadi kesulitan untuk menempatkan diri (terlihat aneh, tidak terdengar jelas, dan tidak menyenangkan).

Menurut Berry and Eisenson, gangguan pada berbicara:

(1) Tidak mudah didengar,

(2) Tidak langsung terdengar dengan jelas,

(3) Secara vocal terdengar tidak enak,

(4) Terdapat kesalahan pada bunyi-bunyi tertentu,

(5) Bicara itu sendiri sulit diucapkannya, kekurangan nada dan ritme yang normal,

(6) Terdapat kekurangan dari sisi linguistik,

(7) Tidak sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan perkembangan fisik pembicara, dan

(8) Terlihat tidak menyenangkan bila ia berbicara.


Gangguan komunikasi meliputi gangguan bicara, bahasa, dan mendengar. Gangguan bahasa dan bicara melingkupi gangguan artikulasi, mengeluarkan suara, afasia (kesulitan menggunakan kata-kata, biasanya karena memar atau luka pada otak), dan keterlambatan di dalam berbicara atau berbahasa. Anak dengan keterlambatan bicara dan bahasa memiliki berbagai karakteristik termasuk ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk, lambat dalam berbicara, kesulitan artikulasi, dan kesulitan dalam membuat kalimat.

Kategori dalam gangguan komunikasi

1. Gangguan bahasa ekspresif

2. Gangguan bahasa ekspresif campuran

3. Gangguan bahasa reseptif

4. Gangguan fonologis

5. Gagap dan gangguan komunikasi yang tidak ditentukan

Anak akan melakukan pengulangan bunyi, perpanjangan, penyiapan, berhenti dalam berkata dan mengucapkan kalimat, substitusi kata untuk menghindari hambatan dalam berbicara.

Gangguan bicara pada anak adalah salah satu kelainan yang sering dialami oleh anak-anak dan terjadi pada 1 dari 12 anak atau 5 – 8 % dari anak-anak presekolah. Hal ini mencakup gangguan berbicara (3%) dan gagap (1%). Konsekuensi yang diambil pada gangguan wicara yang terlambat ditangani adalah perubahan yang signifikan dalam hal tingkah laku, gangguan kejiwaan, kesulitan membaca, dan gangguan prestasi akademik termasuk penurunan prestasi di sekolah sampai drop-out. Sampai saat ini, gangguan bicara pada anak merupakan masalah yang sulit terdeteksi pada pusat pelayanan primer.

Gangguan pendengaran bervariasi sekitar 5% dari anak usia sekolah dengan level pendengaran di bawah normal. Dari jumlah ini, 10-20% memerlukan pendidikan khusus. Sekitar 1/3 dari anak yang memiliki gangguan pendengaran, bersekolah di sekolah biasa, 2/3 dari mereka memasuki pendidikan khusus atau sekolah luar biasa untuk tuna rungu.

Kamis, 06 Mei 2010

Peran orang tua membantu anak yang mengalami gangguan belajar

Cara Membantu Anak Mengatasi Gangguan Belajar, Tips Bagi Orang Tua

Orang tua merupakan guru yang pertama dan terdekat dengan anak. Dengan demikian, peran orang tua sangat penting untuk mengenali permasalahan apa yang dialami anak. Selain itu, penting juga untuk menemukan kekuatan atau kemampuan yang dimiliki anak. Hal ini akan membantu orang tua mendukung anak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri anak.

Tugas anak adalah bermain, maka proses belajar pun sebaiknya menjadi proses yang menyenangkan untuk anak. Apalagi pada anak dengan gangguan belajar, penting untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tidak membebani anak. Kenali hal apa yang membuat anak merasa senang.

Anak dengan gangguan belajar juga bisa mengalami perasaan rendah diri karena ketidakmampuannya atau karena sering diejek oleh teman-temannya. Untuk itu, penting bagi orang tua memberikan pujian jika ia berhasil melakukan suatu pencapaian. Misalnya, bila suatu kali anak berhasil mendapat nilai yang cukup baik atau mengerjakan tugas dengan benar, maka orang tua hendaknya memberi pujian pada anak. Hal ini akan memotivasi anak untuk berbuat lebih baik, meningkatkan rasa percaya diri dan membantu anak merasa nyaman dengan dirinya.

Deteksi dan konsultasi dini pada anak yang diduga mengalami gangguan belajar menjadi faktor penting sehingga anak dapat segera ditangani dengan tepat. Kerja sama antara orang tua, guru dan profesional kesehatan jiwa (psikiater dan psikolog) diperlukan untuk membantu anak menghadapi permasalahan gangguan belajar tersebut.

Penangan pada gangguan belajar

Pengobatan yang paling berguna untuk gangguan belajar adalah:
1. Pendidikan yang secara hati-hati disesuaikan dengan individu anak
2. Membatasi makanan adiktif
3. Menggunakan vitamin dalam jumlah besar
4. Menganalisa sistem anak untuk trace mineral

Sebenarnya tidak ada obat-obatan yang cukup efektif pada pencapaian akademis, intelegensi, dan kemampuan pembelajaran umum. Karena beberapa anak dengan gangguan belajar juga mengalami ADHD, obat-obatan tertentu, seperti methylphenidate, bisa meningkatkan perhatian dan konsentrasi, meningkatkan kemampuan anak untuk belajar.

Gejala-gejala gangguan belajar

Gangguan pada belajar memiliki gejala-gejala sebagai berikut :

- kelambatan untuk mempelajari nama-nama warna atau huruf.
- membaca dan menulis tertunda
- perhatian dalam jangka waktu yang pendek
- kemampuan yang kacau
- berhenti bicara
- ingatan dengan jangka waktu yang pendek
- anak mengalami kesulitan dengan aktifitas yang membutuhkan koordinasi motor yang baik.
- mengalami kesulita komunikasi
- frustasi dan mengalami masalah tingkah laku, seperti menjadi mudah kacau, hiperaktif, menarik diri, malu atau agresif

Gangguan disgrafia

Gangguan disgrafia

Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat menulis huruf dan angka. Gangguan ini tidak sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pendidikan yang telah dijalaninya. Hal tersebut menimbulkan masalah pada akademik anak dan berbagai area kehidupan anak. Menulis merupakan proses penyelesaian masalah (problem solving); yang melibatkan kemampuan penulis dalam menghasilkan bahasa yang dapat dimengerti serta merefleksikan kemampuan dan opini penulis tentang suatu topik.

Ciri khusus anak dengan gangguan disgrafia, Di antaranya adalah:
- Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
- Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
- Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
- Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
- Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
- Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
- Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
- Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

Gangguan Asperger



Sindrom Asperger pertama sekali diperkenalkan oleh Hans Asperger, seorang dokter spesialis anak asal kota Wina, Austria. Pada tahun 1940, Asperger ialah orang pertama yang menggambarkan pola perilaku khusus pada pasien-pasiennya, terutama pasien laki-laki.

Sindrom Asperger atau Gangguan Asperger (SA) merupakan salah satu satu jenis gangguan dari kelompok gangguan perkembangan pervasif (pervasive development disorders; PDD). Gangguan Asperger adalah gangguan pada fase perkembangan terutama pada interaksi sosial dan perilaku yang terbatas dan tidak adanya keingintahuan terhadap lingkungan sekitarnya. Ciri yang hampir mirip dengan gejala-gejala autisme, sehingga gangguan Asperger seringkali disebut sebagai spektrum gangguan autis (autism spectrum disorders; ASDs).
gangguan Asperger :
- Kurang empati
- Naif, interaksi satu arah, sedikit kemampuan untuk berteman dan dijauhi oleh orang lain
- Berbicara kekanakan dan mononton
- Miskin komunikasi nonverbal
- Keterbatasan dalam memahami topik seperti cuaca, peta, berita
- Inkoordinasi dalam bergerak, janggal, dan memiliki postur tubuh tidak lazim

Treatment sindrom asperger
1. Ketrampilan sosial
Ketrampilan sosial (social skills training) bertujuan untuk mengajarkan anak dengan ketrampilan dalam berinteraksi dengan anak-anak sebayanya.
2. Ketrampilan berkomunikasi
Anak diberikan cognitive behavioral therapy (CBT) yang bertujuan untuk membantu anak dalam memanage emosinya secara lebih baik sehingga anak dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya, terapi ini juga berguna untuk mengendalikan perilaku mengulang dan rutinitas. Terapi ini dapat dilakukan secara individual ataupun dengan kelompok.
3. Pelatihan pada orangtua
Pelatihan pada orangtua bagaiman menghadapi simtom dan memberi dukungan kepada anak dengan gangguan AS.

pengertian gangguan belajar

Kesulitan atau Gangguan belajar ( Learning Disorders ) merupakan suatu kesulitan atau gangguan belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelengensi seorang anak dengan kemampuan akademik yang seharusnya sudah dapat dicapai oleh anak seusianya.

Gangguan belajar meliputi kemampuan untuk memperoleh, menyimpan, atau menggunakan keahlian khusus atau informasi secara luas, dihasilkan dari kekurangan perhatian, ingatan, atau pertimbangan dan mempengaruhi performa akademi.

kepekaan orang tua dan guru kelas sangatlah membantu dalam deteksi dini kesulitan belajar, sehingga anak dapat memperoleh penanganan sedini dan seoptimal mungkin dari tenaga professional sebelum semuanya menjadi terlambat.