Jumat, 12 Maret 2010

perlakuan untuk anak autis

Anak autis juga butuh sekolah

Anak penderita autis membutuhkan perlakuan khusus dan penanganan sejak dini. Ada beberapa penanganan yang dapat dilakukan seperti memberikan pendidikan khusus, occupational therapy seperti terapi untuk penderita stroke, terapi bicara dan terapi bahasa, terapi fisik dengan melatih
otot-otot mereka, applied behavioral analysis untuk membantu mengenal perilaku mana yang positif atau negatif, picture exchange communication system, yang merupakan metode belajar melalui gambar, mengekspresikan kata melalui gambar yang mudah ditangkap penderita autis.

Tidak hanya anak normal yang berhak mendapat pendidikan, anak penyandang autis pun memiliki hak yang sama. Pemerintah malah mengimbau kepada para penyandang autis harus mendapatkan perhatian khusus.

Undang-undang mengatakan bahwa semua warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang sama. UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 mengamanatkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Eko Djatmiko Sukarso mengatakan, ”Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penyandang autis,”sebutnya.

Menurut dia, semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).Namun begitu, Eko menyebutkan, Diknas memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang Autis.Alasannya, karena setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda dalam mendidik penyandang autis.

Untuk memastikan penyandang autis mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang baik, Diknas telah mengisyaratkan kepada semua sekolah autis di Indonesia agar tidak mempekerjakan guru yang tidak memiliki sertifikat yang terkait dengan penyandang autis. Penyandang autis harus mendapatkan perhatian yang khusus. Data yang dimiliki Departemen Nasional menyebutkan, jumlah penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar masyarakat.

Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis hingga kini berjumlah 1.752 sekolah. Jakarta sendiri memiliki 111 sekolah untuk para penyandang autis. Sudah barang tentu kurikulum dan pendekatan yang diberikan sekolah berkebutuhan khusus ini pun berbeda dari sekolah pada umumnya. Psikolog dari sekolah khusus autis Mandiga Dyah Puspita mengatakan, kurikulum untuk autis, bahkan dibuat berbeda untuk tiap individu.

Mengingat masing-masing individu memiliki kendala dan kebutuhan tersendiri. Misalnya ada anak yang butuh diajarkan komunikasi dengan intensif,ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri. Sementara ada pula yang perlu hanya fokus pada masalah akademis. Untuk itu,beragam terapi yang berbeda pun diberikan kepada anak-anak penderita autis.Kepala Sekolah AGCA Centre Bekasi Ira Christiana mengatakan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis.

Terapi diet untuk autis

Terapi Diet pada Gangguan Autisme

Sampai saat ini belum ada obat atau diet khusus yang dapat memperbaiki struktur otak atau jaringan syaraf yang kelihatannya mendasari gangguan autisme. Seperti diketahui gejala yang timbul pada anak dengan gangguan autisme sangat bervariasi, oleh karena itu terapinya sangat individual tergantung keadaan dan gejala yang timbul, tidak bisa diseragamkan. Namun akan sulit sekali membuat pedoman diet yang sifatnya sangat individual. Perlu diperhatikan bahwa anak dengan gangguan autisme umumnya sangat alergi terhadap beberapa makanan. Pengalaman dan perhatian orangtua dalam mengatur makanan dan mengamati gejala yang timbul akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam terapi selanjutnya. Terapi diet disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak. Berikut beberapa contoh diet anak autisme.

1. Diet tanpa gluten dan tanpa kasein

Berbagai diet sering direkomendasikan untuk anak dengan gangguan autisme. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein.

Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga “rumput” seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan sejenis, sedangkan kasein adalah protein susu. Pada orang sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten. Beberapa contoh resep masakan yang terdapat pada situs Autis.info ini diutamakan pada menu diet tanpa gluten dan tanpa kasein. Bila anak ternyata ada gangguan lain, maka tinggal menyesuaikan resep masakan tersebut dengan mengganti bahan makanan yang dianjurkan. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat dilihat dalam waktu antara 1-3 minggu. Apabila setelah beberapa bulan menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya.

2. Diet anti-yeast/ragi/jamur

Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan jamur erat kaitannya dengan gula, maka makanan yang diberikan tanpa menggunakan gula, yeast, dan jamur.

3. Diet untuk alergi dan inteloransi makanan

Anak autis umumnya menderita alergi berat. Makanan yang sering menimbulkan alergi adalah ikan, udang, telur, susu, cokelat, gandum/terigu, dan bias lebih banyak lagi. Cara mengatur makanan untuk anak alergi dan intoleransi makanan, pertama-tama perlu diperhatikan sumber penyebabnya. Makanan yang diduga menyebabkan gejala alergi/intoleransi harus dihindarkan. Misalnya, jika anak alergi terhadap telur, maka semua makanan yang menggunakan telur harus dihindarkan. Makanan tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur anak, makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit demi sedikit.


Makanan untuk anak autis

kebutuhan makanan untuk anak autis

Anak autis seperti yang telah banyak kita ketahui , dalam upaya penyembuhannya juga sangat bergantung pada diet yang diterapkan, diantaranya menghindari gluten, kasein, penambah makanan (food additives) seperti MSG, pewarna makanan, dan gula sintetis aspartame, juga tidak makanan yang berbahan dasar dari kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah dll) dan bahan hasil fermentasi.

Carilah makanan yang memiliki sumber karbohidrat yang tidak mengandung glutein seperti beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung, beras tapioka, maizena, bihun, serta soun.

Selain itu, hindari mereka untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung glutein, seperti terigu, havermouth, roti, mie, kue-kue, makaroni, spageti, cake dan biskuit.

Utamakan mereka untuk memakan makanan yang mengandung sumber protein tanpa kasein,
Berilah mereka serat secukupnya dari buah-buahan, tetapi hati-hati, hindari juga memberikan mereka makanan yang mengandung phenol. Seperti tomat, jeruk, pisang, anggur merah, apel, cocoa dan susu.

Komplikasi kehamilan penyebab autis

Kehamilan penyebab autis

Komplikasi yang dialami saat mengandung dan usia calon ibu saat hamil diduga jadi penyebab gangguan autistik pada anak. Begitulah kesimpulan yang dibuat berdasarkan hasil analisa terhadap 40 studi mengenai autisme.

Menurut peneliti dari Harvard School of Public Health, kebanyakan studi mengenai austime menyebutkan usia calon ibu dan juga calon ayah berpengaruh pada kejadian autisme. Ibu hamil yang mengalami perdarahan atau diabetes juga berpeluang memiliki anak autis. Hasil studi ini dilaporkan dalam jurnal ilmiah British Journal of Psychiatry.

Walaupun para peneliti menyadari kaitan autis dan kondisi kehamilan belum memiliki bukti yang kurang kuat, namun 9 dari 13 studi menyebutkan usia calon ibu saat hamil berpengaruh. Hal ini sesuai dengan demografi calon ibu dalam tiga dekade terakhir ini yang rata-rata hamil di usia 30 tahun ke atas.

Ibu hamil yang berusia 30-34 tahun beresiko 27 persen untuk memiliki anak autis. Risiko ini makin meningkat pada ibu hamil yang berusia di atas 40 tahun. Untuk calon ayah, setiap lima tahun risikonya bertambah hampir 4 persen.

Secara biologi memang belum jelas benar mengapa hal itu terjadi. Tetapi para ahli menduga ini disebabkan faktor kromosom yang abnormal pada sel telur wanita paruh baya dan mutasi sel sperma pada pria.

Sementara itu diabetes gestasional, yang terjadi pada 4 dari 100 kehamilan, menyebabkan risiko gangguan autisme dua kali lipat. Sedangkan perdarahan pada kehamilan beresiko 81 persen. Sayangnya tidak dijelaskan apakah perdarahan itu terjadi di awal kehamilan atau masa akhir kehamilan.

Namun, perdarahan pada ibu hamil diketahui memengaruhi oksigen pada janin (fetal hypoxia) untuk perkembangan otak janin yang pada akhirnya meningkatkan risiko autisme.

Tim peneliti juga menemukan hubungan antara penggunaan obat-obatan, seperti obat depresi atau gangguan emosional lain terhadap kejadian austime. Mengenai hal ini, para peneliti menyatakan belum bisa disimpulkan apakah autisme terjadi akibat efek samping obat atau pengaruh kondisi kejiwaan calon ibu saat hamil.

Dalam 30 tahun terakhir, jumlah anak autis terus mengalami peningkatan. Namun menurut para ahli hal ini disebabkan karena faktor deteksi dan diagnosa yang lebih baik sehingga makin banyak kasus terungkap.

peran keluarga terhadap anak autis

Pengertian keluarga untuk anak autis

Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

Sabtu, 06 Maret 2010

hambatan penanganan autis

Fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:
  1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
  2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
  3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
  4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
  5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.

Gejala Autis

Gejala-gejala autisme mencakup beberapa gangguan perkembangan pada anak, yaitu :

1. Gangguan komunikasi, verbal dan non verbal

- Terlambat bicara atau tidak dapat bicara.
- Mengeluarkan kata - kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
- Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.
- Bicara tidak digunakan untuk komunikasi.
- Meniru atau membeo, ada yang pandai meniru nyanyian, nada atau kata-kata yang tak ia mengerti artinya.
- Kadang bicara monoton seperti robot.
- Mimik muka datar.
- Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat.

2. Gangguan interaksi sosial

- Menolak atau menghindar untuk bertatap muka.
- Mengalami ketulian.
- Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk.
- Tidak berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain.
- Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
- Bila didekati untuk bermain justru menjauh.
- Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain.
- Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun.
- Keengganan untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orangtuanya.

3. Gangguan perilaku dan bermain

- Tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama selama berjam-jam.
- Bila sudah senang dengan satu mainan, tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh.
- Terpaku pada roda (memegang roda mobil-mobilan terus menerus untuk waktu lama) atau sesuatu yang berputar.
- Lekat dengan benda-benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana-mana.
- Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak.
- Sering melakukan perilaku ritualistik.
- Kadang terlihat hiperaktif, seperti tidak dapat diam, lari kesana sini, melompat-lompat, berputar-putar, memukul benda berulang-ulang.
- Atau sangat diam dan tenang.

4. Gangguan perasaan dan emosi

- Tidak punya atau kurang berempati, misalnya tidak punya rasa kasihan. Bila ada anak yang menangis, ia tidak kasihan tapi malah merasa terganggu. Ia bisa saja mendatangi si anak dan memukulnya.
- Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah-marah tanpa sebab yang nyata.
- Sering mengamuk tidak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif.

5. Gangguan persepsi sensoris


- Mencium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja.
- Bila mendengar suara keras langsung menutup mata.
- Tidak menyukai rabaan dan pelukan. bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari pelukan.
- Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu.

faktor pemicu autis

Penyebab Autis

Gangguan neurobiologist ini dapat disebabkan oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan seperti pengaruh negatif selama masa perkembangan otak .

Banyak faktor yang menyebabkan pengaruh negatif selama masa perkembangan otak , antara lain ; penyakit infeksi yang mengenai susunan saraf pusat, trauma, keracunan logam berat dan zat kimia lain baik selama masa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan, gangguan imunologis, gangguan absorpsi protein tertentu akibat kelainan di usus.

faktor yang memberi andil besar penyebab autis adalah:

  • Virus
  • Keracunan Logam Berat
  • Alergi dll
faktor PEMICU penyebab utama adalah faktor GEN ( keturunan ) dengan kata lain kalaupun ada pemicunya kalau tidak didukung oleh adanya Bakat dari anak yang bersangkutan maka autis itu ngga akan terjadi.

terapi autis

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka.

Terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.

Treatment

  • Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
  • Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
  • TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
  • Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
  • Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
  • Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
  • Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
  • Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

pengertian autis

Mengenai Autis

Autisme merupakan kondisi seseorang yang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Dengan demikian anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).

Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:

Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.